Rumit, begitulah kiranya
mencintai sahabat sendiri. Perasaanku telah sampai pada titik ingin memiliki
lebih dari sahabat. Aku bingung bagaimana cara mengutarakan rasa yang entah
sejak kapan mengendap di hatiku ini. Selaras dengan hal tersebut, hubunganku
dengan Manda, teman karibku itu- menjadi kaku dan aneh. Namun, aku kira itu
sekelebat perasaanku semata, “Toh
Manda selalu mengira aku hanya sedang tidak baik-baik saja. Dia belum tahu
saja, bahwa demikian tingkahku yang dia anggap tidak baik-baik saja itu justru konsekuensi
dari mencintainya diam-diam. Ah!”
Seseorang menepuk pundakku, “Bengong
aja, Lex! Kenapa?”
Berat sekali menjawab pertanyaan sederhana dari Erman, teman satu kontrakan yang akhir-akhir ini nampak begitu gelisah, sama sepertiku. Erman menarik bangku kosong dan duduk di sampingku. Di balkon kontrakan, menikmati warna oranye langit dan secangkir kopi dengan kepulan asap rokok adalah rutinitas yang seringkali kami lakukan menjelang hari merambat gelap. Sesekali diiringi petikan gitar dan mendendangkan lagu-lagu bernuansa cinta-cintaan yang rumit dan terkesan ajaib. Aku pikir balkon kontrakan ini akan menjadi saksi bisu, “Dua lelaki yang menggelisahkan seorang perempuan hanya karena tidak tahu apakah perempuan yang diam-diam mereka cintai memiliki perasaan yang sama. Ha-ha.”
***
Aku merapikan berkas-berkas
berserakan di meja ruang tamu Manda. Pemandangan yang tidak biasa tertangkap
oleh mataku. Sepanjang Manda berceloteh tentang dosen keseniannya yang suka
mengubah-ubah jadwal kelas, sampai menggunjing teman satu kelompoknya yang
menyebalkan, Manda tidak menunjukkan raut muka kesal, justru rona bahagia melekat
pada binar matanya. Aku sangat hapal perubahan yang terjadi dengan Manda.
Seharusnya bukan begitu, celoteh kesal harus dengan ekspresi kesal, bukan?
“Lex, minggu depan jadi, ya, nonton
teater! Aku udah beliin kamu tiket. Beli dua dapet gratisan satu tiket.
Bagusnya satu tiket lagi kita kasih ke siapa?”
“Hmmm, gimana kalo teman-temanmu?”
“Mereka pada nonton konser di
kampus sebelah. Bawa aja nih, siapa tahu ada temen kamu yang lagi gabut. Ajakin
aja,” tawarnya.
Aku berniat memberikan tiket
menonto teater tersebut kepada Erman, meski aku tidak yakin dia akan menikmati
jalan ceritanya nanti, tapi yang pasti dia tidak akan menolak ajakanku.
***
Aroma sisa hujan menyeruak di balkon kontrakan,
membuat Erman mengurungkan niatnya untuk lari di Minggu pagi ini. Di dalam
kamarku, suara petikan gitarnya kudengar mengandung keresahan yang tidak
berkesudahan. Aku turut larut sebab perasaanku sedang dilanda ketidakpercayaan
terhadap diri sendiri karena seorang Manda. Ah, entah apa sebutan yang pantas
untuk itu.
Dingin menyambutku. Erman tidak
juga menyadari keberadaanku.
“Man! Semalam nggak jadi dateng?”
Erman melonjak. “Ngagetin aja
sih, Lex!” gerutunya. Dia tidak langsung merespon pertanyaanku. Pandangannya
kosong menelusuri awan hitam yang berjalan lambat di langit-langit.
Jari-jarinya masih memetik senar gitar yang mengeluarkan nada-nada resah.
“Sorry, Lex. Udah niat dateng, cuma tiba-tiba perasaan gue nggak
enak aja gitu, jadilah nongkrong doang di warkop depan kampus. Temen lo nggak
marah, kan?”
“Santai ajalah. Lo dateng atau
enggak, dia juga bodo amat.”
Bibir Erman menyungging.
Pandangan awan hitam yang berjalan lambat tadi seolah berubah menjadi wajah
seorang perempuan yang ingin sekali dia miliki. Yang akhir-akhir ini menjadi
sebab keresahan dan tingkah lakunya yang serba tidak enak dan membuat dirinya malas
melakukan apa-apa.
“Kepikiran perempuan yang lo
taksir itu? Kenapa nggak langsung ditembak aja sih? Lama-lama mendem juga nggak
baik kali, Man. Lo nggak bakalan mengakhiri keresahan lo yang nggak jelas gini
sampai lo sendiri ngungkapin perasaan ke dia.”
Aku terkesiap dengan kalimatku
sendiri. Kata demi kata yang kusampaikan ke Erman, seolah meneriakiku. Kuresapi
sekali lagi, seharusnya memang itu yang kulakukan terhadap Manda. Mengungkapkan
perasaan yang selama ini menghangat di hatiku.
***
Dadaku runyam. Alih-alih
menenangkanku, sentuhan telapak tangan Manda yang menepuk-nepuk dadaku justru
membuatku limbung. Rasanya ingin mati saja ketika Manda mematahkan hatiku. Dia
menolakku dengan begitu anggunnya. Berkata bahwa akulah teman terbaiknya, dan
Manda tidak mau mengubah status persahabatan kami menjadi berpacaran.
Aku memang tidak peka. Aku tidak
bisa membaca geliat yang Manda tunjukkan. Kebahagiaan yang belakangan melekat
pada dirinya, itu bukan karenaku. Ada orang lain yang bukan aku. Bodohnya, aku
tidak menyadari hal-hal semacam itu. Terlalu dalam terperangkap oleh perasaanku
sendiri, yang tidak percaya diri namun memaksakan diri demi gelisah lekas
pergi.
Sekarang justru gelisah semakin
sering menghampiriku seiring Manda tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Manda yang apa adanya, Manda yang baik hati karena tidak memutus persahabatan
kami. Manda yang segalanya bagiku dan tidak untukku.
***
Erman tertawa kecil melihatku
datang dengan keadaan lesu. Kalau saja dia tidak sedang mengalami keresahan
yang sama sepertiku, mungkin tawanya akan meledak, mengebom kepedihanku karena
cinta yang menyedihkan ini.
“Ditolak, Lex?”
Aku tidak menjawab. Mengambil
alih gitar yang dia mainkan. Kepulan asap rokok mengudara di antara rerintik yang
mulai berjatuhan. Erman seketika menekuk muka. Aku paham benar apa yang ada di
pikirannya. Seperti mengkhawatirkan sesuatu yang telah terjadi padaku turut
menimpanya juga.
“Dicoba aja dulu, Man. Kita mana
tahu nasib masing-masing perjaka macem kita ini. Barangkali keberuntungan
berpihak padamu. Besok coba ungkapin perasaan lo itu.”
Malam kian larut. Aku memutuskan
menyudahi rasa kecewaku dengan tidur, pun Erman. Dia menutup pintu kamarnya,
berharap besok ada keajaiban untuk keberaniannya mengungkapkan perasaan yang
lama menjamur di hati.
***
Erman telah bersiap untuk menjemput cintanya. Di hatiku masih meringkas kesedihan atas kecewaku kemarin. Aku tidak bisa membayangkan, dua orang lelaki akan patah hati dalam waktu bersamaan. Tapi ternyata, bayanganku keliru. Sebuah pesan masuk di ponselku. Erman memintaku untuk menyusulnya di sebuah warung kopi. "Wah, ngajakin galau berjamaah nih!” batinku.
Namun, suara Erman terdengar renyah. Tiba-tiba saja hatiku menciut. Suaranya di ujung telepon mengisyaratkan dua hal, pertama dia diterima, kedua dia ditolak dan sedang menertawakan dirinya sendiri. Aku jadi penasaran dengan perempuan yang tidak pernah kuketahui, yang kerapkali melambungkan keresahan Erman itu bisa membuat Erman hilang kewarasan. Bagaimana kalau Erman diterima? "Ah ya, aku baik-baik saja, kok.”
***
Warung kopi begitu ramai. Erman
melambaikan tangan ke arahku. Semakin mendekat ke arah meja Erman, langkahku
mendadak bergetar. Seorang perempuan yang berhadapan dengan Erman membuatku
penasaran.
“Hei, Lex! Kenalin nih pacar
gue.”
Sial!
Perempuan itu menoleh dan
membuatku terbahak. Seketika, perempuan itu mengikuti tingkahku, terbahak dan
tidak berhenti-berhenti. Erman kebingungan.
“Parah banget kalian, ya!” Kataku
menahan ngilu hati.
“Kenapa sih?” Erman linglung.
“Alex ini sahabat karibku. Bon-bon
yang suka kuceritain ke kamu itu loh,
ya si Alex tengil ini, Man. Kalian saling kenal ternyata?”
Erman membisu. Dia tidak tahu
harus bersikap seperti apa. Tetap merayakan kebahagiannya atau turut berkabung
atas kepedihanku yang nyatanya berkelanjutan? Sebab, Erman mendapatkan
perempuan yang baru saja menolak cintaku, menjalin kasih dengan teman karib
yang pernah kuperjuangkan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
Aku ingin menyudahi segala rumit perasaanku ini. Tidak peduli berapa lama prosesnya. Lalu, aku memilih untuk menghilang dari kehidupan mereka demi kewarasan yang selama ini kusadari telah hilang karena perkara cinta.
SEKIAN
Biodata Penulis
Isnani Qistiyah,
lahir di Semarang, Maret 1993. Alumni Fakultas Ekonomi di Universitas Semarang.
Menulis cerpen dan puisi yang tergabung di beberapa buku antologi bersama.
Bercerita apa saja di adindanenii.blogspot.com. Bisa disapa melalui media
sosial instagram, twitter, dan facebook dengan nama akun adindanenii. Email:
adindanenii08@gmail.com.
0 Komentar