IKLAN

www.jaringanpenulis.com

"LARA SENJA," sebuah karya cerpen Wa Ode Sinta Nur Afia


sumber gambar : searching google

LARA SENJA
Karya Wa Ode Sinta Nur Afia

Aku adalah asa yang dikekang masa. Yang pernah percaya akan arti kata setia, lalu dipatahkan oleh cinta.
Aku yakin kamu pernah kehilangan rasa percaya pada semua orang, bahkan pada semesta. Saat ini, aku sedang merasakannya. Rasa percayaku yang terkhianati, begitu juga hatiku yang dipatahkan ribuan kali mampu merubahku menjadi manusia yang tidak punya hati hingga aku tidak mengenali diriku sendiri.
Kini yang kupunya hanya kepingan hati yang tak berdaya. Aku pernah berniat untuk memperbaiki tapi seseorang lainnya datang dan dengan kejamnya dia menginjak kepingan itu hingga menjadi serpihan. Memperburuk keadaan.
Dia yang kusangka adalah obat dari seluruh duka. Dia adalah bahagia yang tak kuduga dan dia juga yang tanpa kusadari telah merobek hatiku hingga bertambah parah. Oleh karena itu, aku mengunci rapat-rapat kehidupanku dan membiarkan pekat menjadi teman dekatku.
Suatu saat seseorang datang berteriak cinta kepadaku. Ber-ikrar setia dan berkata bahwa cintanya sangat luar biasa. Entah, kapan dimulainya aku tidak tahu. Yang kutahu saat ini, aku hanya ingin melepaskan penatku dan mencari hiburan bersama Juna.
Tiba-tiba…
“Katamu kemarin… Kamu juga mencintaiku,” ujar Juna. 
“Aku enggak pernah bilang cinta padamu! Yang kubilang kemarin, bahwa aku menyukaimu,” kataku membela diri. 
“Sama aja, bukan?”
“Beda. Suka bukan berarti cinta, Jun.”
Juna mendesah berat.
“Sebenarnya perasaanmu padaku itu seperti apa?” tanyanya lirih.
“Jun, aku sampai saat ini pun masih bingung ….”
“Lalu kenapa kamu selalu memberi harapan?”
Aku diam, enggan menjawab.
Harapan…. Satu kata yang dulu juga menghancurkanku secara perlahan.
“Kemarin kamu terlihat sangat meyakinkan tapi sekarang… Kamu seperti tokoh fiksi!”
Juna menatapku.
“Kamu terlalu abu-abu, Jingga.”
“Aku nyaman sama kamu tapi aku---”
Terpotong sudah pembicaraanku olehnya.
“Aku tahu patah hati itu membuatmu kehilangan rasa percaya tapi apa enggak ada kesempatan untukku?”
“Aku ragu, Jun. Bahkan sangat ragu!”
Kali ini ucapanku terdengar bergetar. Aku tidak menyampaikan makna tersirat dalam kalimatku, “Aku benar-benar ragu pada siapapun yang mencoba untuk mengetuk hatiku.”

***

Dulu aku sering berkata pada teman-temanku bahwa membawa orang baru pada hati yang masih terikat masa lalu itu hanya akan menyakiti mereka. Tujuan untuk melupakan tapi yang terjadi justru menjadikan orang itu sebagai pelampiasan dan nahasnya, kini aku pun melakukannya, bahkan lebih parah dari mereka.
“Pagi Juna,” sapaku dengan senyum manis.
Jika biasanya Juna akan langsung mengacak-acak poniku tapi kali ini berbeda. Ia tidak ada kegiatan pagi yang biasanya lelaki itu lakukan. Bahkan senyum pun tak tercetak di wajahnya.
Apa sekecewa itu Juna padaku?
Aku meringis sakit saat lututku menyentuh aspal jalanan. Sial, saking terkejutnya dengan sikap Juna, aku sampai tidak memperhatikan langkah. Juna memutar balik tubuhnya. Dia mengelurkan kapas, obat merah, dan hansaplast. Dia mengobati luka kecilku ini dengan teliti.
“Kalau jalan hati-hati,” ucap Juna.
Aku menatap Juna lekat.
“Kamu beda hari ini.”
“Beda?”
“Kamu enggak seperti biasanya.”
Aku menggenggam tangan Juna.
“Kamu marah?”
“Bahkan untuk enggak mengacuhkan ucapanmu saja, aku harus menahannya mati-matian. Lalu, gimana bisa aku membenci kamu, Jingga?”
Setalah sekian lama… Tepat untuk yang pertama kalinya hatiku bergetar. Setelah membantuku berdiri, Juna berlalu pergi dan aku masih tidak mengerti atas arti getaran yang terjadi tadi pada hatiku.

***

Aku bolos mata kuliah lagi. Entah, apa penyebabnya aku tak tahu. Mungkin karena kejadian tadi hatiku merasa resah. Aku merindukan perhatian kecil yang Juna berikan.
Mataku menatap kosong pada sebuah buku kecil yang selalu kubawa tapi juga tak pernah kubuka. Buku kecil yang berisi semua kenangan tentang masa lalu. Dari bahagia hingga yang paling menyakiti jiwa. Perlahan aku membukanya tapi sama saja membunuhku. Menambah rasa benci pada hatiku dan bagai mengorek luka yang masih basah. Namun, jemariku mulai membukanya hingga tetes air mata jatuh tanpa diminta. Ternyata aku teringat dengan sesuatu.
Saat aku sedang menahan nafas untuk mengendalikan sesak, seseorang merebut buku kecil itu. Aku mendongak.
“Juna? Kok kamu di sini?
“Jangan dibaca kalau itu semakin membuatmu terluka.”
Usapan lembut itu menyentuh wajahku. Menghapus jejak air mataku. Aku diam menatap matanya dalam-dalam. Mata hitam pekat itu mengunciku.
Katanya hitam melambangkan kehampaan tapi, kenapa yang kudapat dari netra itu, justru ketenangan?
“Aw, sakit.”
Aku mencebik kesal saat Juna mencubit pipiku sedikit kencang. Sejenak Juna mengusap pipiku yang sedikit merah.
Aku menggerutu, “Tuh, merah kan? Sakit tahu.”
Juna meghentikan pergerakan tanganku. Memutar seluruh pusat perhatiannya padaku. Hatiku kembali bergetar, bahkan lebih cepat. Belaian hangat juga tatapan teduhnya seolah menghipnotisku.
“Jangan dilihatin gitu! Nanti suka lho,” ledek Juna.
Aku tak membalas leluconnya malah semakin memperhatikannya. Juna tersenyum tipis.
“Kenapa?”
“Kenapa sih, kamu masih mengharapkan harapan yang kamu sendiri sudah tahu kalau itu semu?” tanyaku.
“Jawabannya sama saat kamu berharap bahwa saat itu tidak benar-benar nyata.”
Aku terbungkam atas jawaban Juna sangat di luar dugaan.
“Maaf, Juna,” lirihku
“Untuk apa?”
“Maaf karena telah menjadikanmu pelampiasan. Maaf karena telah menjadikanmu bahan mainan. Maaf karena telah memberimu harapan yang semu. Maaf telah mengecewakanmu. Maaf karena telah menyakiti hatimu.”
Juna memelukku, seolah mengatakan bahwa dia telah memaafkanku.
“Tuhan, apa ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku yang lalu? Bahwa ada bahagia setelah sedih. Ada pengganti setelah yang lalu pergi,” batinku.
Aku terisak dengan menggumam kata maaf. Aku sadar karena keegoisanku sendiri, aku telah melukai hati yang tak bersalah sama sekali. Walaupun hatinya sudah kusakiti berkali-kali, dia tetap ada dan seoalah aku tidak pernah melukainya.
Juna menangkup wajahku.
“Biarkan aku menyembuhkan hatimu yang patah, ya?”
Air mataku masih mengalir tapi bibirku membentuk lengkungan manis.
“Mau kan memberiku kesempatan?” tanya Juna sekali lagi.
Aku mengangguk meng-iyakan.
Juna ialah laki-laki yang kuterbangkan setinggi langit. Lalu, sempat kujatuhkan ke perut bumi. Namun dia tetap ada dan membuat cinta ini tumbuh tanpa aba-aba. Tak terduga!
Sejatinya cinta itu sederhana
Sejatinya luka itu membuat hati bernanah
Sejatinya bahagia membuat kita lupa
Jika luka sedang menanti di ujung jalan cerita
Sejatinya luka itu tidak akan bertahan lama
Karena aku percaya…
Semesta hanya ingin menjadikanmu dewasa
Atas luka yang kamu terima

****

SEKIAN

Biodata Penulis
♡Nama Panggilan : Sinta
♡Nama Lengkap : Wa Ode Sinta Nur Afia
♡Asal Kota : Jakarta

Karya Terbit
°Senandung Jejaknya (Antologi Puisi)
°Luka Di Hujan Senja (Antologi Puisi Prolisa)
°Story of Hope (Antologi Cerpen)

Media Sosial
>Instagram : waodesintaaa
>Wattpad : sajaktakbertema

Posting Komentar

0 Komentar