IKLAN

www.jaringanpenulis.com

[CERPEN] Ayah dan Senyum yang (Pernah) Pudar oleh Gita Agustya Andini

Cerpen Mengharukan




Suara ristsleting tas seakan bersorak tak rela ketika sang empu menutupnya. Menyesakkan barang-barang yang tak terlalu banyak di dalam sana. Raut datar pria paruh baya itu terkesan menyeramkan bagi siapa saja yang tak mengenalnya. Di sebelahnya, kaki jenjang putih seorang gadis remaja berdiri gemulai sembari menatap setiap gerakan sang ayah. Sudut pupil bulatnya bak bendungan sungai yang menahan jahatnya deras air ketika merembas ke bawah. Ia terlihat seperti bocah sekolah dasar yang menahan isak ketika permintaannya tak dituruti. Tangan lentikknya yang telah bergetar, meremas ujung kaos yang ia kenakan. Hatinya nyeri, melihat sang ayah yang akan kembali meninggalkannya setelah terhitung tiga hari saja beliau pulang dari perantauan.

Bukan permasalahan ia takut berada di gubuk reot itu sendirian. Namun, perasaan sepilah yang selalu hinggap di hatinya. Gadis bernama Gwen itu tak pernah mengandalkan orang lain kecuali ayahnya. Orang tua tunggal yang selalu ceria dan tak bosan menebar aura positif dengan senyum tulusnya. Kini, semua hanya ilusi. Keceriaan yang tak pernah pudar itu bak lenyap ketika sang istri pergi meninggalkan suami serta anak semata wayangnya, Gwen. Tak ada yang berbeda dari ayah, tetap perhatian dan menjadi iron man terbaik Gwen. Hanya saja, kekuatan semangat yang selalu disalurkan terhadap Gwen tak lagi ada.

Senyum bahagia ayah mampu menusuk ulu hati ketika Gwen mengingatnya. Beribu-ribu belati seakan ditancapkan pada tubuh mungilnya oleh musuh. Tak terima, ia tak terima jika ayahnya seperti itu. Gwen menjadi jarang berbicara dengan ayahnya, ia tak lagi mendengar kecerewetannya perihal sekolah Gwen yang dulu selalu beliau pertanyakan penuh semangat. Gwen tak lagi memiliki waktu bahagia dengan orang tuanya seperti teman sebayanya. Namun, ia hanyalah gadis remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas dua yang tak bisa ikut campur atas perasaan orang desawa seperti ayahnya. Meski, ia turut terluka atas perubahan sang ayah yang mampu membuatnya jatuh dalam keterpurukan.

Ayah berbalik menatap Gwen.

"Gwen sayang," panggilnya dengan parau tetapi terdengar lembut.

Tak ada gurat senyuman di bibir hitamnya yang selalu menyesap tembakau yang dibungkus kertas putih. Gwen sempat terhenyak mendengar panggilan itu. Tapi tak lama, setelah mengusap kelopak matanya yang ia rasa telah mengeluarkan cairannya dengan kasar, ia tersenyum, mendongak menatap sang ayah yang lebih tinggi darinya.

"Iya, Ayah," jawab Gwen sembari mengontrol suara agar tak terdengar seperti orang bersedih.

"Maaf, Ayah harus meninggalkanmu lagi," kata ayah.

Gwen tersenyum. Menyembunyikan luka agar tak dilihat ayahnya.

"Tidak apa-apa, Ayah. Ayah bekerja juga demi Gwen," balas Gwen sembari meyakinkan ayahnya bahwa ia baik-baik saja.

Gwen tak sengaja menubruk punggung Ayah yang terbalut jaket hitam.

"Ayah jaga diri baik-baik, jangan lupa makan teratur. Ayah harus jaga kesehatan. Ayah harus sering-sering menelepon Gwen." Gwen berucap dengan nada tersedat.

Rasanya, kerongkongannya terasa kering seketika. Isak yang ditahan sedari tadi keluar tanpa sopan dari mulutnya. Gwen benci menangis ketika ayahnya akan kembali ke perantauan. Kelopak mata Gwen tertutup. Menyembunyikan mata cantiknya yang telah basah oleh air mata. Dirasakannya elusan lembut dari tangan besar nan dingin sang ayah.

"Selama Ayah tidak berada di sampingmu. Gwen juga harus melakukan hal yang sama seperti perkataan Gwen tadi. Gwen, jangan melupakan kewajibanmu, doakan Bunda! Kunjungi makam Bunda kalau Gwen memiliki waktu senggang. Bersihkan tempat Bunda ya, Nak," pesan ayah.

Tangis Gwen pecah mendengar itu, ia merindukan bundanya.

"Kalau Ayah tak kunjung meneleponmu, Gwen harus menelepon Ayah duluan. Mungkin saat Ayah tak meneleponmu, Ayah terlupa atau kecapekkan. Sehari sekali, Ayah harus berbicara dengan Gwen. Hanya Gwen yang menjadi obat saat Ayah lelah," ujar Ayah beruntutan dan dibalas anggukan oleh putrinya di dalam dekapan.

Gwen memundurkan tubuhnya. Menatap wajah sang ayah yang datar tak beraura. Netranya menggambarkan tak ada kehidupan di sana. Ayah teramat kehilangan Bunda. Ternyata, Gwen diam-diam merindukan senyum yang selalu terpatri di bibir hitam ayahnya. Ia ingin senyum itu kembali. Ayah menggendong tas punggungnya setelah Gwen mencium tangan Ayah. Perlahan ayahnya menjauh dari gubuk reot tempat tinggalnya. Merelakan rasa tak ikhlas ketika harus meninggalkan putrinya sendirian di rumah.

Hari-hari Gwen tak berubah. Sama seperti ketika sang bunda telah pergi dan sang ayah berada di perantauan. Sepi. Menjadi suasana baru yang selalu dan akan tetap melingkupi kehidupannya. Tersenyum miris melihat teman sebayanya yang terlihat bahagia bersama orang tuanya. Gwen iri. Ia ingin seperti itu, meski hanya dengan sang ayah.

Komunikasi Gwen dengan ayah selalu baik-baik saja. Hanya saja, ayah seakan enggan pulang ke kampung menemuinya. Menambah perasaan getir serta mengerikan dalam hidup Gwen. Hari-harinya ia gunakan untuk menangis, serta tersenyum sebagai cara handal menyembunyikan kepedihannya.

Tahun bergulir cepat. Empat tahun terlewati. Gwen melewati masa remajanya dengan kehampaan yang luar biasa. Tanpa orang tua yang berada di sisinya. Hanya sang nenek yang sesekali mengunjunginya ke rumah. Senyumnya yang selalu menutupi lukanya. Kini, hilang. Wajahnya datar bak jalanan aspal yang tak berujung. Menjadi raut baru yang ia perlihatkan, menjadi gadis dingin nan jutek seolah pilihannya.

Pikirannya melayang jauh mengikuti perginya awan. Angin yang berembus menerpa surai legamnya yang sepanjang punggung. Semilir angin diteriknya siang menambah hangat suasana dinginnya angin.

"Selamat ulang tahun putri Ayah." Suara itu terdengar fatamorgana di telinga mungil yang tertutupi surai legamnya.

Menggeleng kuat seakan ia benar ingin mendengar suara itu. Empat tahun sudah ayahnya tak mau menemuinya. Ia berpikir, mungkin saja ayah memiliki keluarga baru di perantuan sana. Melupakan bahwa beliau memang telah memiliki gadis yang bertumbuh semakin besar dengan sendirinya.

"Maaf. Ayah yang baru pulang. Maafkan Ayah yang telah meninggalkan Gwen sendirian." Suara itu bukan ilusi.

Gwen menatap sang ayah yang membalikkan badannya agar mengarah padanya. Menyadarkan Gwen bahwa beliau memang telah kemballi.

Tangis Gwen pecah, lagi-lagi ia memeluk ayahnya yang sedang berdiri dengan ia yang duduk di atas kursi kayu, memeluk erat perut sedikit buncit ayah. Tak menyangka, tangis Gwen menular pada ayah. Keduanya menumpahkan luka rindu yang telah membuncah besar.

Ayah kembali, ketika Gwen berumur tepat tujuh belas tahun membuat asumsinya hilang ketika sosok yang ia nanti serta ia rindukan berada di hadapannya. Tangis Gwen meraung, membasahi kemeja yang dikenakan ayah.

"Aku merindukanmu, Ayah," ujar Gwen di dalam isaknya.

"Aku lebih merindukan putri Ayah ini," balas ayah.

Berulang kali beliau mengecup pucuk kepala Gwen. Mengucap kata maaf tanpa henti. Gwen melonggorkan pelukannya. Menatap sang ayah dengan mata sembab dan derai air mata yang telah membasahi pipi ranumnya.

"Apakah Gwen boleh meminta sesuatu, Ayah?" tanya Gwen penuh harap.

Ayah mengangguk tanpa senyuman. Ibu jari besarnya bergerak mengusap pipi sang putri yang penuh air mata.

"Gwen mau... Ayah kembali tersenyum. Gwen tidak mau melihat Ayah bersedih. Gwen tersiksa, Ayah," ucap Gwen terdengar memelan ketika kalimat terakhir keluar dari mulutnya.

"Gwen merindukan senyum Ayah yang dulu tidak pernah pudar. Tapi, semua hilang saat bunda pergi," imbuh Gwen lirih.

Ayah terdiam. Ia nampak teringat sesuatu, ia tak pernah lagi tersenyum. Bahkan, ia lupa kapan terakhir kali ia tersenyum. Yang tanpa ia sadari, ia menyiksa putrinya akan hal itu.

Tak sulit. Ayah menatap Gwen, memantapkan hati agar tak larut dalam kesedihan karena kepergian istrinya. Ia harus memberi kasih sayang seperti dahulu pada putrinya. Ia tak mau Gwen kecewa dan menjadi korban atas kesedihannya.

"Ayah akan mengabulkan permintaan putri cantik Ayah. Ayah tak akan bersedih lagi demi Gwen dan ketenangan bunda di alam barunya," kata Ayah yakin.

Hening sejenak…

"Ayah akan mengembalikan senyum yang dirindukan Gwen."

SELESAI

 ****


Tentang Penulis

Namaku Gita Agustya Andini. Remaja kelahiran 18 Agustus 2003. Saat ini tengah menempuh dunia pendidikan di bangku Sekolah Menengah Kejuruhan Negeri tingkat akhir.

Aku pernah tergabung dalam komunitas kepenulisan, menjadi tim dari penerbitan serta tengah menulis sebuah novel. Aku pernah mengikuti lomba menulis, pernah juga mengikuti event menulis.

Beberapa cerpen, puisi, dan quotes karyaku telah terangkum dalam sebuah buku antologi.

Media Sosial :

•Wattpad dan instagram: @akulily_

 

 

Posting Komentar

0 Komentar