Cerpen Mengharukan
Suara ristsleting tas seakan bersorak tak rela
ketika sang empu menutupnya. Menyesakkan barang-barang yang tak terlalu banyak
di dalam sana. Raut datar pria paruh baya itu terkesan menyeramkan bagi siapa
saja yang tak mengenalnya. Di sebelahnya, kaki jenjang putih seorang gadis
remaja berdiri gemulai sembari menatap setiap gerakan sang ayah. Sudut pupil
bulatnya bak bendungan sungai yang menahan jahatnya deras air ketika merembas
ke bawah. Ia terlihat seperti bocah sekolah dasar yang menahan isak ketika
permintaannya tak dituruti. Tangan lentikknya yang telah bergetar, meremas
ujung kaos yang ia kenakan. Hatinya nyeri, melihat sang ayah yang akan kembali
meninggalkannya setelah terhitung tiga hari saja beliau pulang dari perantauan.
Bukan permasalahan ia takut berada di gubuk reot
itu sendirian. Namun, perasaan sepilah yang selalu hinggap di hatinya. Gadis
bernama Gwen itu tak pernah mengandalkan orang lain kecuali ayahnya. Orang tua
tunggal yang selalu ceria dan tak bosan menebar aura positif dengan senyum
tulusnya. Kini, semua hanya ilusi. Keceriaan yang tak pernah pudar itu bak
lenyap ketika sang istri pergi meninggalkan suami serta anak semata wayangnya,
Gwen. Tak ada yang berbeda dari ayah, tetap perhatian dan menjadi iron man terbaik Gwen. Hanya saja,
kekuatan semangat yang selalu disalurkan terhadap Gwen tak lagi ada.
Senyum bahagia ayah mampu menusuk ulu hati ketika
Gwen mengingatnya. Beribu-ribu belati seakan ditancapkan pada tubuh mungilnya
oleh musuh. Tak terima, ia tak terima jika ayahnya seperti itu. Gwen menjadi
jarang berbicara dengan ayahnya, ia tak lagi mendengar kecerewetannya perihal
sekolah Gwen yang dulu selalu beliau pertanyakan penuh semangat. Gwen tak lagi
memiliki waktu bahagia dengan orang tuanya seperti teman sebayanya. Namun, ia
hanyalah gadis remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas
dua yang tak bisa ikut campur atas perasaan orang desawa seperti ayahnya.
Meski, ia turut terluka atas perubahan sang ayah yang mampu membuatnya jatuh
dalam keterpurukan.
Ayah berbalik menatap Gwen.
"Gwen sayang," panggilnya dengan parau
tetapi terdengar lembut.
Tak ada gurat senyuman di bibir hitamnya yang
selalu menyesap tembakau yang dibungkus kertas putih. Gwen sempat terhenyak
mendengar panggilan itu. Tapi tak lama, setelah mengusap kelopak matanya yang
ia rasa telah mengeluarkan cairannya dengan kasar, ia tersenyum, mendongak
menatap sang ayah yang lebih tinggi darinya.
"Iya, Ayah," jawab Gwen sembari mengontrol
suara agar tak terdengar seperti orang bersedih.
"Maaf, Ayah harus meninggalkanmu lagi,"
kata ayah.
Gwen tersenyum. Menyembunyikan luka agar tak
dilihat ayahnya.
"Tidak apa-apa, Ayah. Ayah bekerja juga demi
Gwen," balas Gwen sembari meyakinkan ayahnya bahwa ia baik-baik saja.
Gwen tak sengaja menubruk punggung Ayah yang
terbalut jaket hitam.
"Ayah jaga diri baik-baik, jangan lupa makan
teratur. Ayah harus jaga kesehatan. Ayah harus sering-sering menelepon
Gwen." Gwen berucap dengan nada tersedat.
Rasanya, kerongkongannya terasa kering seketika.
Isak yang ditahan sedari tadi keluar tanpa sopan dari mulutnya. Gwen benci
menangis ketika ayahnya akan kembali ke perantauan. Kelopak mata Gwen tertutup.
Menyembunyikan mata cantiknya yang telah basah oleh air mata. Dirasakannya
elusan lembut dari tangan besar nan dingin sang ayah.
"Selama Ayah tidak berada di sampingmu. Gwen juga
harus melakukan hal yang sama seperti perkataan Gwen tadi. Gwen, jangan
melupakan kewajibanmu, doakan Bunda! Kunjungi makam Bunda kalau Gwen memiliki
waktu senggang. Bersihkan tempat Bunda ya, Nak," pesan ayah.
Tangis Gwen pecah mendengar itu, ia merindukan
bundanya.
"Kalau Ayah tak kunjung meneleponmu, Gwen
harus menelepon Ayah duluan. Mungkin saat Ayah tak meneleponmu, Ayah terlupa
atau kecapekkan. Sehari sekali, Ayah harus berbicara dengan Gwen. Hanya Gwen
yang menjadi obat saat Ayah lelah," ujar Ayah beruntutan dan dibalas
anggukan oleh putrinya di dalam dekapan.
Gwen memundurkan tubuhnya. Menatap wajah sang ayah
yang datar tak beraura. Netranya menggambarkan tak ada kehidupan di sana. Ayah
teramat kehilangan Bunda. Ternyata, Gwen diam-diam merindukan senyum yang selalu
terpatri di bibir hitam ayahnya. Ia ingin senyum itu kembali. Ayah menggendong
tas punggungnya setelah Gwen mencium tangan Ayah. Perlahan ayahnya menjauh dari
gubuk reot tempat tinggalnya. Merelakan rasa tak ikhlas ketika harus
meninggalkan putrinya sendirian di rumah.
Hari-hari Gwen tak berubah. Sama seperti ketika
sang bunda telah pergi dan sang ayah berada di perantauan. Sepi. Menjadi
suasana baru yang selalu dan akan tetap melingkupi kehidupannya. Tersenyum
miris melihat teman sebayanya yang terlihat bahagia bersama orang tuanya. Gwen
iri. Ia ingin seperti itu, meski hanya dengan sang ayah.
Komunikasi Gwen dengan ayah selalu baik-baik saja.
Hanya saja, ayah seakan enggan pulang ke kampung menemuinya. Menambah perasaan
getir serta mengerikan dalam hidup Gwen. Hari-harinya ia gunakan untuk
menangis, serta tersenyum sebagai cara handal menyembunyikan kepedihannya.
Tahun bergulir cepat. Empat tahun terlewati. Gwen
melewati masa remajanya dengan kehampaan yang luar biasa. Tanpa orang tua yang
berada di sisinya. Hanya sang nenek yang sesekali mengunjunginya ke rumah.
Senyumnya yang selalu menutupi lukanya. Kini, hilang. Wajahnya datar bak
jalanan aspal yang tak berujung. Menjadi raut baru yang ia perlihatkan, menjadi
gadis dingin nan jutek seolah pilihannya.
Pikirannya melayang jauh mengikuti perginya awan.
Angin yang berembus menerpa surai legamnya yang sepanjang punggung. Semilir
angin diteriknya siang menambah hangat suasana dinginnya angin.
"Selamat ulang tahun putri Ayah." Suara
itu terdengar fatamorgana di telinga mungil yang tertutupi surai legamnya.
Menggeleng kuat seakan ia benar ingin mendengar
suara itu. Empat tahun sudah ayahnya tak mau menemuinya. Ia berpikir, mungkin
saja ayah memiliki keluarga baru di perantuan sana. Melupakan bahwa beliau
memang telah memiliki gadis yang bertumbuh semakin besar dengan sendirinya.
"Maaf. Ayah yang baru pulang. Maafkan Ayah
yang telah meninggalkan Gwen sendirian." Suara itu bukan ilusi.
Gwen menatap sang ayah yang membalikkan badannya
agar mengarah padanya. Menyadarkan Gwen bahwa beliau memang telah kemballi.
Tangis Gwen pecah, lagi-lagi ia memeluk ayahnya
yang sedang berdiri dengan ia yang duduk di atas kursi kayu, memeluk erat perut
sedikit buncit ayah. Tak menyangka, tangis Gwen menular pada ayah. Keduanya
menumpahkan luka rindu yang telah membuncah besar.
Ayah kembali, ketika Gwen berumur tepat tujuh belas
tahun membuat asumsinya hilang ketika sosok yang ia nanti serta ia rindukan
berada di hadapannya. Tangis Gwen meraung, membasahi kemeja yang dikenakan
ayah.
"Aku merindukanmu, Ayah," ujar Gwen di
dalam isaknya.
"Aku lebih merindukan putri Ayah ini,"
balas ayah.
Berulang kali beliau mengecup pucuk kepala Gwen.
Mengucap kata maaf tanpa henti. Gwen melonggorkan pelukannya. Menatap sang ayah
dengan mata sembab dan derai air mata yang telah membasahi pipi ranumnya.
"Apakah Gwen boleh meminta sesuatu,
Ayah?" tanya Gwen penuh harap.
Ayah mengangguk tanpa senyuman. Ibu jari besarnya
bergerak mengusap pipi sang putri yang penuh air mata.
"Gwen mau... Ayah kembali tersenyum. Gwen
tidak mau melihat Ayah bersedih. Gwen tersiksa, Ayah," ucap Gwen terdengar
memelan ketika kalimat terakhir keluar dari mulutnya.
"Gwen merindukan senyum Ayah yang dulu tidak
pernah pudar. Tapi, semua hilang saat bunda pergi," imbuh Gwen lirih.
Ayah terdiam. Ia nampak teringat sesuatu, ia tak
pernah lagi tersenyum. Bahkan, ia lupa kapan terakhir kali ia tersenyum. Yang
tanpa ia sadari, ia menyiksa putrinya akan hal itu.
Tak sulit. Ayah menatap Gwen, memantapkan hati agar
tak larut dalam kesedihan karena kepergian istrinya. Ia harus memberi kasih
sayang seperti dahulu pada putrinya. Ia tak mau Gwen kecewa dan menjadi korban
atas kesedihannya.
"Ayah akan mengabulkan permintaan putri cantik
Ayah. Ayah tak akan bersedih lagi demi Gwen dan ketenangan bunda di alam
barunya," kata Ayah yakin.
Hening sejenak…
"Ayah akan mengembalikan senyum yang
dirindukan Gwen."
SELESAI
Tentang Penulis
Namaku Gita Agustya Andini. Remaja kelahiran 18
Agustus 2003. Saat ini tengah menempuh dunia pendidikan di bangku Sekolah
Menengah Kejuruhan Negeri tingkat akhir.
Aku pernah tergabung dalam komunitas kepenulisan,
menjadi tim dari penerbitan serta tengah menulis sebuah novel. Aku pernah
mengikuti lomba menulis, pernah juga mengikuti event menulis.
Beberapa cerpen, puisi, dan quotes karyaku telah
terangkum dalam sebuah buku antologi.
Media Sosial :
•Wattpad dan instagram: @akulily_
0 Komentar