Cerpen Kerinduan yang Mendalam
Jika ada malaikat yang diperintahkan
Tuhan turun ke bumi untuk menjagaku hari itu di rumah itu, mungkin dia adalah
ayahku.
Setelah menyantap hidangan makan
malam, Hardian mengajakku dan teman-teman sedivisi bersantai di taman belakang
rumah yang baru tiga hari lalu resmi menjadi atas namanya. Aku dan Hardian
sudah berkawan semenjak Sekolah Dasar. Saat di SMP, kami berpisah karena aku
harus ikut mama yang mendapatkan surat perintah pindah tugas ke Jakarta. Sekian
tahun berlalu, aku dan Hardian berjumpa lagi di perusahaan yang sama, tempat
kami bekerja setelah lulus kuliah, bahkan kami sedivisi.
Di taman belakang yang dilengkapi
kolam Koi, kami menikmati secangkir kopi dari Gunung Puntang khas Bandung
Timur. Kopi nikmat yang pernah menjadi jawara tahun 2016 lalu dalam ajang Specialty Coffee Association. Sembari menyeruput kopi, Ferdi dan beberapa teman
lain memuji desain rumah baru Hardian yang kental dengan gaya minimalis modern.
Tetiba Antoni berseloroh bahwa dia
lebih menyukai rumah kuno. Bukan sekedar berdesain klasik, tetapi yang
benar-benar kuno dan dibangun akhir abad 19 atau awal abad 20. Mendengar
seloroh Antoni tentang rumah kuno, ingatanku kembali menuju dua puluh tahun
silam. Masa kecilku, saat masih duduk di bangku kelas II Sekolah Dasar.
***
Minggu sore itu, aku hendak bermain
bersama teman-teman. Sebelumnya kutemui mama di kamarnya untuk meminta izin.
Sebelum mengutarakan keinginan dan berpamitan, sempat kulihat mama sedang
memandangi satu per satu foto yang tersusun rapi dalam album berwarna biru
dongker. Sekilas kulirik foto papa saat mendatangi Festival Keukenhof,
salah satu festival bunga di tempat yang pernah disinggahi.
Seingatku mama pernah bercerita bahwa
ia mendapatkan foto-foto itu setelah papa mengirimkannya melalui pos
internasional. Saat aku masih
berusia 4 tahun. Menyadari kehadiranku, perhatian mama teralihkan. Kemudian ia
memberikan izin bermain padaku. Akan tetapi, sebuah syarat diajukannya yakni
aku harus pulang sebelum azan maghrib berkumandang. Tanpa berlama-lama, kucium
tangan mama, mengucapkan salam, lalu segera berlari ke luar rumah untuk menemui
teman-teman.
"Hati-hati, Tommy!"
terdengar seruan mama dari dalam rumah, sebelum kubuka pagar.
Bosan bermain sepeda di sekitar
komplek, aku dan teman-teman sengaja bersepeda agak jauh dari kawasan komplek
tempat tinggal kami. Hardian memberikan tumpangan sepeda karena ban sepedaku
bocor beberapa hari sebelum hari itu. Setelah sejam perjalanan, Ogest
menghentikan laju sepedanya di depan sebuah rumah kosong, yang lain pun ikut
berhenti. Yonas sontak menyerukan tantangan untuk masuk ke rumah kosong
berlantai dua itu.
Rumput di halaman rumah itu tingginya
sekitar 1 meter. Pagarnya tak terkunci sehingga kami, lima bocah ingusan dengan
mudahnya menerobos. Kami masuk menuntun sepeda dan memarkirkan di jalan paving
yang membelah halaman depan sisi kanan dan kiri. Budi yang dikenal penakut,
sempat menolak tantangan itu. Namun, akhirnya ia mengekor juga karena tak sudi
ditertawakan teman-teman.
Rumah yang kental dengan nuansa kuno
zaman kolonial itu, memiliki jendela-jendela yang besar. Dua daun pintu masuk
yang tingginya sekitar 3 meter, menghadang seolah tak mengizinkan kami untuk
masuk. Kami tidak bisa membukanya.
Tak kehilangan akal, kami mencari
pintu lain di samping rumah. Kami menemukan tangga menurun. Terdapat pintu
berukuran normal di ujung tangga menurun itu. Daun pintu itu bisa terbuka
setelah Yonas memukulkan sebuah batu berukuran cukup besar pada gembok tua
berkarat, yang tergantung di slot pintu.
Ternyata kami membuka rubanah atau
yang biasa disebut basement.
Remang-remang, hanya cahaya matahari sore yang masuk dari pintu yang terbuka.
Debu di mana-mana. Wajar saja, entah sudah berapa lama rumah itu tak dihuni
manusia. Kami berlima terus berjalan masuk hingga menemukan tangga menuju
lantai satu. Yonas berjalan paling depan, seolah pemimpin dalam sebuah
perjalanan petualangan.
Di lantai satu, gelap semakin pekat
karena tak ada lampu yang menerangi, hanya cahaya matahari sore yang menerobos
masuk dari celah-celah jendela. Perlahan kami coba menelusuri ruangan satu demi
satu.
BRAAAK!
Suara benda jatuh, datang dari arah
dapur.
"Ayo kita pulang!" Budi
dengan wajah ketakutannya.
Spontan mengajak kami pulang. Akan
tetapi, Yonas malah segera berlari ke arah sumber suara, lalu kami
mengikutinya.
"Lihat cuma tikus!" Yonas tertawa sambil
menunjuk ke arah dua tikus besar yang saling berkejaran.
Ketika naik ke lantai dua, ada sebuah
kamar yang pintunya terbuka. Langkahku terhenti karena melihat sebuah pesawat
mainan tergeletak di bawah meja kamar.
Sesaat kulihat teman-teman terus
berjalan bersama Yonas. Kuputuskan untuk mengambil pesawat mainan itu. Kemudian
segera ke luar dari kamar dan menyusul teman-teman, begitulah rencana dalam
benakku.
Dalam remang-remang, aku berjalan
masuk ke kamar itu. Sesampai langkahku di depan meja, lalu berjongkok untuk
mengambil pesawat mainan incaranku.
BRAAK!!
Pintu kamar terhempas, tiba-tiba
tertutup. Jantungku berdegup kencang. Belum sempat kupegang pesawat mainan itu,
buru-buru aku berdiri dan berlari menuju pintu kamar. Gagang pintu kutarik
sekuat tenaga, tetapi tak kunjung terbuka.
"Yonas... Hardian... Budi... Ogeeest!" Kuteriakan nama mereka satu per satu sembari menggedor-gedor
pintu.
Berharap mereka mendengar dan
bergegas menolong.
Beberapa detik kemudian, bau busuk
mulai menusuk penciuman. Kubalikkan badan, mataku langsung tertuju pada sosok
bayangan hitam besar yang berdiri sekitar 3 meter di depanku. Seketika lidah
ini kelu. Sangat ingin berteriak tetapi tertahan di tenggorokan. Kaki melemas saat bayangan
hitam besar itu secara perlahan makin mendekat.
Tampak jelas rupa buruk dengan mata
merahnya. Aku terduduk di lantai, sembari menunduk memeluk lutut. Air mataku
mengalir di pipi. Yang
terlintas dalam pikiran saat itu, hanyalah mama.
“Aku ingin pulang!”
Detik itu juga, cahaya putih
menyelimuti tubuhku. Sosok seorang pria dewasa yang mirip dengan foto papa,
tampak jelas tersenyum dan memelukku.
"Tommy! Kenapa tiduran di teras,
Nak?"
Entah bagaimana, saat itu aku sudah
terbaring di teras rumah dan mama membangunkanku. Ketika kesadaran telah
kembali, kumandang azan maghrib yang hampir berakhir, terdengar di telinga.
***
"Hey, Tom! Kenapa ngelamun?” Hardian menepuk bahuku.
"Oh nggak, cuma teringat papaku."
"Papamu sudah meninggal sejak kamu berusia
4 tahun kan?"
"Iya... Kecelakaan pesawat saat hendak pulang
dari melihat festival.
Sepertinya, aku sedang merindukan sosok papa," ujarku sembari menyeruput kopi yang sedari tadi cangkirnya tak lepas
dari tanganku.
SEKIAN
Jakarta, 28 Maret 2021
****
Tentang Penulis
Zi Chaniago merupakan perempuan
berdarah Sumatra Barat dan Belitung yang lahir dan tumbuh di Kota Pahlawan,
Surabaya. Saat ini berdomisili di DKI Jakarta.
Perempuan yang hobi menulis, desain
grafis, nonton film dan menyanyi ini saat ini bekerja sebagai freelance writer
dan freelance desain grafis.
Media Sosial :
· Instagram @zy_hawk
0 Komentar