IKLAN

www.jaringanpenulis.com

Cerpen SEPASANG MERPATI ditulis oleh Natasya Drsye

SEPASANG MERPATI

oleh Natasya Drsye



sumber gambar : Sepasang merpati terbang ke angkasa. (GloryHpc)


Aroma opor ayam tercium melintas hidung, membuatku bergerak cepat meraup habis sampah daun kering yang masih berserakan. Setelah cukup lama bergelut dengan sapu segera aku menuju dapur menghampiri Ibu, tak sabar untuk mencicipi masakannya.

“Ini, antarkan ke sebelah dulu!” perintah Ibu sembari memberikan rantang yang berlapisan piring di bawahnya.

Segera kuraih opor ayam pemberian Ibu dan melaksanakan perintahnya. Setibanya di sana, kulihat bangunan kayu rumah ini sudah sangat lama, bahkan satu rumah di sampingnya hampir roboh karena tak dihuni. Tak hanya itu, rumah yang ditempati kakek dan nenek itu pun sudah doyong ke arah kiri.

“Matur Suwun,” ucap Kakek dengan hati yang penuh syukur.

“Enggeh sama-sama,” sahutku sebelum berlalu meninggalkannya.

Ada perasaan bahagia selepas dari sana, rasa syukur bisa berbagi dengan sesama. Sebenarnya keluargaku bukanlah orang kaya, rumah pun masih sama seperti mereka yang juga berasal dari kayu. Namun, urusan bagi-membagi Ibu memang nomor satu, sifat dermawannya sungguh luar biasa hingga membuatku kagum padanya.

“Bagaimana tadi? Siapa yang menerima?” tanya Ibu setelah kepulanganku.

“Kakek yang menerima, seperti biasanya beliau selalu mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur,” sahutku yang kemudian melahap nasi yang sudah disediakan Ibu.

“Neneknya ada?” tanya Ibu.

Aku menganggukan kepala menyetujuinya sembari menyuapkan nasi yang kedua kali. Bapak pun datang menghampiri kami. Diambilnya piring dan sendok untuk makan.

“Tak ada salahnya jika kita berbagi kepada mereka, apalagi kakek sudah tua sedangkan nenek itu sebelah tangannya sudah tidak lagi berfungsi. Semoga kita selalu ada rezeki untuk berbagi,” timpalnya.

Ya, cerita Ayah memang benar, mereka sudah sangat tua dan tangan kiri nenek tidak lagi berfungsi dikarenakan akibat penyakit stroke hingga membuat tangannya lumpuh dan terlipat tepat di bawah dada. Kadang aku merasa iba saat melihatnya, kakek selalu membantu segala keperluan nenek sebab ia tak bisa melakukannya sendiri. Mulai dari memasakan air hangat untuk mandi, memasangkan baju dan juga memotong kuku. Kakek sangat sabar dalam mendampinginya walapun kadang kala ucapan nenek sedikit kasar namun tak pernah dihiraukan. Delapan tahun lamanya kami bertetangga dengan mereka namun kedekatan kami layaknya keluarga.

***

Siang ini, matahari begitu terik tepat di bawahnya aku menjemur pakaian. Dari kejauhan nenek menghampiriku dengan bantuan tongkat di tangan kanannya. Setelah dekat, nenek memberikan sekantong plastik hitam padaku.

“Ini ambillah!” ucap Nenek sembari menyodorkannya.

Kemudian, tangan kanan aku menyambutnya.

“Terima kasih Nek,” tuturku lembut sembari tersenyum setelah tahu ada buah sirsak di dalamnya.

“Mamak mana?” tanya Nenek padaku dengan suaranya yang sedikit parau.

“Ada kok, Nek! Sebentar saya panggilkan ya,” jawabku dan memanggil Ibu yang sedang duduk di dapur.

Ibu dan Nenek mengobrol bersama di sebuah bangku tepat dibawah pohon jambu yang cukup rindang. Sesekali aku menoleh pada mereka sembari menjemur cucian-cucian yang baru saja aku keringkan dari mesin cuci.

Wajar saja jika Nenek kesepian sebab ia tidak memiliki anak. Sebenarnya beliau dulu dikaruniai seorag anak. Namun, pekerjaan Kakek adalah pelaut kapal tongkang yang tak tahu kapan kepastiannya pulang. Sewaktu dulu, anaknya turut serta dalam pelayaran, namun  tak tahan udara dingin hingga meninggal di tengah-tengah lautan sebelum sampai ke tepian. 

***

Setelah kepulangan keponakannya yang sudah siap menjemput kakek dan nenek itu, ada yang berbeda dengan hatiku. Di teras rumah, terlihat bapak dan kakek sedang berbincang. Akupun tak sengaja mendengarnya.

“Lalu, Kakek mau pindah ke mana?” tanya Bapak setelah cukup lama menyimak kisahnya.

“Di RT 12. Rumah yang dulu ditempati anak buahnya ponakanku,” sahutnya.

Ternyata, keponakan si kakek itu seorang jurangan bata merah. Jadi tak hanya memiliki tanah dan rumah di satu tempat. Salah satunya adalah rumah yang berada di RT 12 dulu pernah di tempati anak buahnya juga. Setelah berpamitan kakek dan nenek pindah dan mengangkut barang-barangnya ke sana.

Walapun sudah pindah kakek sering kali mengujungi rumah lamanya yang sudah terjual itu, beliau hanya sekadar untuk memberi umpan ayam dan juga kucingnya yang masih tinggal di sana. Aku pun jadi jarang berbagi makanan dengan mereka Karen jarak yang cukup lumanyan jauh. Terkadang Ibu menyuruh adik jika membuat masakan lontong atau pun kolak untuk mengantarkannya. Sore ini kulihat seorang nenek berjalan perlahan menggunakan tongkatnya menuju rumahku, ia meminta agar aku memotongkan rambutnya yang sudah mulai pajang dan aku pun menyanggupi. 

***

Satu hari nenek jatuh sakit hingga kakek sendiri merasa tak sanggup untuk merawatnya. Tubuhnya yang sudah mulai ringkih dan kaca matanya yang sudah menguning membuatku tak tega jika melihat pria yang semakin bertambah umur itu menjalani hidupnya.

“Terima kasih sudah mau menjenguk,” ucap Nenek yang terbaring lemah di hadapanku.

“Iya, semoga cepat sembuh supaya bisa main ke rumah lagi,” sahut Ibu dengan penuh kelembutan.

Nenek hanya mengangguk sembari tersenyum memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Ibu dan aku terkejut ketika mendengar kabar jika nenek akan dikirim ke rumah ponakannya yang lebih jauh dari tempat ini. Itu pun tanpa persetujuan atau rundingan terlebih dahulu.

Nenek juga cerita kalau alasan mereka memindahkan nenek itu karena nenek sering teriak-teriak sendiri jadi merasa tak enak dengan tetangga sekitarnya, padahal nenek teriak hanya karena mimpi buruk. Di samping itu istrinya si keponakannya memiliki anak bayi sehingga merasa sangat direpotkan. Aku dan Ibu hanya bisa sabar serta menasihati nenek. Kemudian pamit pulang.

Sesaat kemudian, tak sengaja aku berjumpa dengan kakek di warung, aku pun menanyakan kabar beliau.

“Ya seperti yang sudah pernah dilihat,” jawab kakek.

“Yang sabar, Kek!” sahutku dengan hati-hati takut menyingung perasaannya.

“Terima kasih, Nak! Kalau sudah waktunya, kakek ikhlas.” Begitu jawab kakek kembali yang terlihat putus asa.

***

Beberapa hari kemudian Ibu mengalami sakit perut yang cukup parah karena penyakit Maag, bahkan tak hanya sekali muntah namun lebih dari 10 kali dalam sehari. Tepat matahari di atas kepala si kakek datang ke rumah, ia meminta tolong pada Ibu agar memeriksa, apakah nenek sudah tiada atau sekadar pingsan. Akhirnya, aku dan Bapak yang mendengar itu pun, segera bergegas menuju sana. Kami lebih dulu sampai karena menggendarai sepeda motor sedangkan kakek hanya berjalan kaki bersama Ibu.

Ketika melangkahkan kaki di depan pintu masuk, mataku terbelalak melihat nenek yang mulutnya terbuka, terbaring lemah berselimutkan kain jarik. Keterkejutanku membuat degup jantung tak berdetak normal. Seumur hidup ini adalah pertama kalinya aku merasakan kehilangan. Aku dan Bapak sigap mendekat untuk memastikan. Bapak memeriksa nadi dan aku pun juga. Kemudian memegang kaki yang mulai dingin namun badannya masih terasa hangat. Bapak  membisikan sesuatu pada telinganya.

“Bagaimana Pak Sukar? Apakah masih bisa diselamatkan?” tanya kakek saat memasuki rumah dengan napasnya yang masih tersengkal.

“Tolong panggilkan Pak Yana!” perintah Bapak padaku.

Aku pun dengan setengah berlari menuju tetangga depan. Untung saja ada Pak Yana di rumahnya namun beliau sedang tidur. Kini aku memberanikan diri dan penuh kehati-hatian membangunkan tidur beliau. Kemudian beliau bangun, sigap menghampiri Bapak.

Setibanya di rumah tujuan, Pak Yana memeriksa denyut nadi si nenek.

“Innalillahi Wa inailahi rojiun,” ucap beliau.

“Kakek ikhlas melepaskan kepergian nenek tapi bakalan sepi karena tak ada lagi yang menemani kakek di sini,” ujar kakek dengan senyum namun jelas aku tahu ada penyesalan besar di dalam hatinya.

Sorot mata kakek sangat jelas menggambarkan kesedihan yang sangat dalam. Mataku berkaca-kaca karena merasa kehilangan sepasang merpati yang dulu sering kulihat bersama-sama kini tak sepasang lagi.

“Selamat di tempat baru ya, nek! Aku sayang nenek!” tutupku menyaksikan kisah senja ini. 

SEKIAN


BIODATA PENULIS 

Nama Pena : Natasya Drsye

Nama Asli    : Siti Natasya Sholekha

Kelahiran     : Ngawi, 03 maret 2001

Usia                : 19 tahun

Tamatan      : SMK NEGERI 1 PELAIHARI TAPEL 2018


Motto

>> "Yang kemarin biarlah berlalu, hari ini adalah lembaran baru."

>> "Masa lalu bukanlah kegagalan namun pengalaman hidup yang bisa dijadikan panutan karena guru yang tidak akan membohongi diri adalah pengalaman sendiri."

>> "Lihatlah masa depan masih cerah, teruslah melngkah!"

>> "Jangan tunduk pada rasa lelah! Semangatlah dalam mengapai mimpi."


Media Sosial

> instagram @natasya_drsye22

Posting Komentar

0 Komentar