sumber gambar : anime couple keren di google
Cinta,
menurutku adalah sesuatu hal yang tabu. Tak mudah untuk merasakannya. Bahkan, untuk memilikinya. Setiap orang yang
jatuh cinta, pasti akan merasa bahagia. Asalkan cinta itu tumbuh dengan sewajarnya,
dan di tempat yang seharusnya. Namun, tidak bagiku. Cinta membuatku
menderita, merasakan sakit yang tiada tara.
“Mas, kenalin, ini Rania sahabatku sejak SMA!” ucap
Vivi ketika memperkenalkanku dengan seorang laki-laki bernama Indra.
Ketika itu Vivi
berniat mencarikanku pekerjaan dan Indra adalah seorang manajer di sebuah restoran ternama. Kesan pertama bertemu dengan Pak manajer, “Pria ini sungguh tampan.”
Ya, dia memanglah tampan. Rambutnya ikal belah tengah,
wajahnya mirip sekali dengan artis-artis yang banyak diidolakan masyarakat pada
masa kini. Pria bertubuh tinggi itu mengajakku berjabat tangan. Tanpa basa-basi
aku pun segera meraih tangannya. Apa yang kurasakan bahwa aku merasa jatuh
cinta pada pandangan pertama.
Aku beruntung memiliki sahabat sebaik Vivi. Meskipun
aku bukanlah berasal dari kalangan orang berada, tetapi wanita berlesung pipi
itu dengan baiknya mau menerimaku, bahkan mau menganggapku sebagai sahabatnya.
“Terima kasih ya, Vi. Kalau enggak ada kamu... Mungkin,
sampai saat ini aku belum bekerja lagi!”
“Santai aja, Ran. Aku cuma mau bantu kamu, kok.
Lagian, kemarin Mas Indra bilang ke aku
kalau restoran tempatnya bekerja lagi butuh tambahan tenaga waiters. Ya udah, aku pikir kamu pasti
mau kerja di sini!”
Aku memang sedang membutuhkan pekerjaan dan aku tahu,
Vivi kan anak konglomert pasti dia punya banyak kenalan yang bisa memberikanku
pekerjaan.
*****
Setelah beberapa bulan aku bekerja di restoran,
sedikitnya aku menjadi paham akan sosok Pak Indra. Beliau orang yang sangat
baik sekali. Walaupun jabatannya sebagai manajer tetapi dirinya sama sekali
tidak sombong. Bahkan sangat membaur sekali dengan waiter
sepertiku.
Pagi itu Pak Indra begitu sibuk memberikan motivasi
untuk para supervisor dan karyawan. Termasuk diriku. Dengan seksama kami semua
memerhatikan setiap ucapan dan nasihatnya tapi tidak denganku. Aku justru
terfokus kepada ketampanan wajahnya. Seperti yang sudah kukatakan, aku jatuh
cinta kepada Pak Indra sejak pandangan pertama dan itu karena wajahnya yang
tampan.
“Untuk kamu, Rania. Saya sangat puas dengan hasil
pekerjaanmu!”
Saking terkesimanya aku ketika dapat melihatnya dari
dekat, sampai-sampai diriku sama sekali tak memerhatikan ucapannya saat laki-laki
berwajah manis itu tengah berbicara denganku. Aku justru hanya tersenyum-senyum
sendiri hingga Beti, temanku berusaha menyadarkanku dengan mencubit lenganku
hingga sakit.
“Aw!” teriakku seraya mengusap-usap bekas cubitan
Beti.
“Kamu kenapa, Rania? Dari tadi saya berbicara panjang
lebar, kamu malah senyum-senyum sendiri!”
“Ah… Enggak kok, Pak!” kilahku.
Wajahku bersemu. Rasanya ingin ku sembunyikan saja
agar laki-laki itu tak melihatnya. Namun,
percuma. Pak Indra sudah melihatnya dengan jelas sehingga aku hanya mampu
menyeringai seraya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
*****
Setiap hari, aku berusaha untuk datang tepat waktu dan
tentu saja itu menjadi nilai plus bagiku di mata Pak Indra. Menurut beliau, aku
adalah pekerja yang rajin.
“Sebagai pekerja saja kamu bisa rajin. Apalagi jika
sebagai istri.”
“Bapak bisa saja, bercandanya!” jawabku ketika kami
baru sama-sama tiba di pintu restoran.
“Saya enggak lagi bercanda, Rania. Saya bisa
membedakan antara perempuan yang rajin dengan yang enggak!”
“Masa sih, Pak?! Bagaimana cara membedakannya?”
“Contohnya seperti kamu. Kamu berbeda dari pegawai
yang lain. Mungkin, teman-teman kamu yang lainnya saat ini baru mulai
melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahnya. Tapi kamu... kamu sudah berada di
sini bersama dengan saya!”
Oh, hmm! Ucapan Pak Indra itu sangat menggetarkan
jantungku. Sesaat aku bagaikan berhenti bernapas dan seolah ingin pingsan
ketika mendengarnya. Sungguh, walaupun dirinya mengatakan bersama dengannya di
pintu restoran, pikiranku telah melayang jauh membayangkan kami berdua duduk
bersama di pelaminan.
“Rania!” Terdengar seseorang membangunkanku dari
lamunan indah itu. Beti si pemilik tubuh gempal telah menggantikan posisi Pak
Indra di sampingku.
“Kamu kenapa sih, Ran? Perasaan sering banget
senyum-senyum sendiri enggak jelas gitu!”
“Ada deh!” jawabku seraya meloyor masuk ke dalam
restoran dan aku tahu, Beti sangat kesal atas tanggapanku.
Hari-hari Pak Indra selalu dihabiskan untuk
pekerjaannya dan itu membuatku penasaran, “Apakah beliau sudah memiliki
pasangan atau belum? Yang aku dengar, Pak Indra masih lajang.” Aku merasa ada sedikit
sebuah rasa kelegaan, setidaknya aku masih memiliki harapan besar. Pikirku.
Aku sering tanpa sepengetahuan dari Pak Indra dan
teman-teman, berusaha untuk mengambil
foto pria tertampan di restoran dengan kamera Handphoneku yang murah itu dan tentu saja, foto-foto beliau
kujadikan koleksi. Bukan hanya di Handphone
saja tetapi juga di dinding kamarku.
“Sekarang baru fotonya yang menemani tidurku. Suatu
saat pasti orangnya yang akan menemaniku tidur,” gumamku setiap kali akan tidur
malam seraya tersenyum-senyum sendiri.
Pak Indra memang bukan artis tetapi aku sangat
mengidolakannya melebihi fans fanatic anggota boyband terkenal. Terkadang... ingin
rasanya aku mengungkapkan perasaanku ini kepadanya tetapi aku begitu malu dan
aku juga tak ingin dianggap sebagai manusia yang tak dapat mengukur tandukku
sendiri. Apa aku tersiksa? Sudah pasti.
****
“Hai, Ran. Apa kabar?” sapa Vivi kepadaku sewaktu ia
datang ke tempat kerjaku.
Aku menyambutnya dengan begitu hangat. “Hai, Vi. Aku
baik!”
Kupeluk tubuh Vivi yang begitu molek itu. Terukir
senyuman sumringah di wajahnya yang cantik dan memesona itu. “Lama kita enggak pernah
ketemu. Gimana, kamu betah kan, kerja di sini, Ran?” tanyanya.
“Betah dong! Pak manajernya baik!” jawabku dengan
sedikit centil.
Berharap Vivi dapat menanggapi ucapanku ini. Jadi,
tanpa aku yang bercerita, Vivi akan menanyaiku terlebih dahulu. Ya Tuhan,
ternyata Vivi sama sekali tidak peka.
“Mas Indra memang orang yang sangat baik. Dia baik
kepada siapapun dan sebab itulah, aku mau menerimanya sebagai calon suamiku!”
Tidak ada angin, dan tidak ada hujan, aku bagaikan
tersambar petir dengan kekuatan lebih dari puluhan miliar joule. Tubuhku
menjadi lemas seketika. Aku yang saat itu tengah membersihkan meja tamu,
langsung terduduk. Harapan-harapan indah yang selama beberapa bulan ini
kubayangkan seakan ada di depan mata, semua hancur tak bersisa. Gambaran-gambaran
itu seakan musnah dihantam goresan tinta berwarna hitam pekat. Kali ini, aku
benar-benar sudah tak menyadari apa yang dilakukan oleh Vivi ketika melihat
ekspresiku.
Perlahan pandanganku mulai terang walau belum begitu
jelas. Telingaku tak mendengar apapun selain seruan suara Vivi
memanggil-manggil namaku hingga akhirnya aku tersadar.
“Akhirnya … kamu sadar juga, Ran!”
Nampak jelas terlihat wajah Vivi begitu mencerminkan
kecemasannya terhadap kondisiku.
“Aku kenapa, Vi?”
“Tadi kamu pingsan. Untung ada Mas Indra. Jadi kami
bisa membawamu ke sini!”
Pandanganku beralih ke sosok yang berdiri tepat di
samping Vivi. Dia adalah calon suami sahabatku, sekaligus orang yang sangat aku
cintai. Aku tak dapat berkata apapun kepadanya, selain mengucapkan terima kasih
karena telah membawaku ke rumah sakit.
*****
Sepulangku dari rumah sakit, Pak Indra memberikanku
izin untuk cuti selama beberapa hari. Dirinya menginginkan agar aku
beristirahat. Ia juga berjanji tidak akan memotong gajiku tapi, setelah
kupikir-pikir akan lebih baik jika aku berhenti saja dari pekerjaan sebagai waiters ini. Rasanya aku tidak akan
pernah sanggup jika setiap hari harus bertemu dengan cinta yang terlanjur
singgah di hati namun tak dapat kumiliki.
“Kamu yakin, Ran?”
“Yakin, Vi!”
“Tapi, kenapa?”
Vivi berusaha mendesakku untuk memberitahukan alasan
mengapa aku ingin berhenti bekerja dari restoran itu. Walau bagaimanapun, Vivi
adalah sahabat terbaikku. Aku sama sekali tak ingin melukai perasaannya.
“Aku udah ngedapetin kerjaan yang lebih bagus.” Diriku
terpaksa berbohong di hadapan Vivi dan Pak Indra. Tanpa banyak berbicara lagi
aku meninggalkan restoran dan semua kenangan manisku di sana.
Vivi adalah sahabatku. Jika aku memaksakan kehendakku,
artinya aku bukanlah sahabat yang baik. Biarkan cinta ini aku simpan di lubuk
hatiku yang terdalam.
“Pak Indra, aku
akan selalu mencintaimu!” pekikku dalam hati seraya melangkah menjauh dari
keduanya.
Sesampai di rumah, kunyalakan radio kesayangan yang
sengaja ku taruh di kamar. Berharap ada acara yang dapat menghibur perasaanku
yang tengah kacau. Baru aku menekan tombol play,
terdengar sebuah lagu yang sangat menggambarkan permasalahanku. ILUSI
TAK BERTEPI milik group band asal Lampung, Hijau Daun Band.
Sungguh, lagu itu begitu sangat menyayat hatiku. Cinta
yang tak mampu kumiliki, ternyata adalah milik sahabatku. Seraya memandangi
foto-foto Pak Indra yang banyak terpampang di dinding kamarku, aku hanya bisa
berharap. Kelak di kehidupan selanjutnya aku benar-benar bisa bersanding
dengannya.
SAMPAI JUMPA...!
Tentang Penulis Cerpen
Dwi Kurnialis, kelahiran Tanjung Karang, 1990. Seorang
ibu rumah tangga yang memiliki hobi dalam dunia literasi sejak usia belia.
Berharap bisa membuat karya yang bermanfaat dan disukai oleh banyak orang
berdomisili di Kec. Sekampung, Kab. Lampung Timur
Dwi
Kurnialis dapat dihubungi melalui akun instagram @dwi.kurnialis.dk dan akun media
sosial facebook dengan username Dwi Iput Hariyadi.
1 Komentar
Masyaa Allah, terima kasih untuk JPI yang sudah memberikan saya kesempatan untuk bergabung di sini.
BalasHapusJazakallahu Khairan untuk semuanya. 😃😃😃