IKLAN

www.jaringanpenulis.com

ILUSI TAK BERTEPI ditulis oleh Dwi Kurnialis "Cerpenis Romance"

sumber gambar : anime couple keren di google


Cinta,  menurutku adalah sesuatu hal yang tabu. Tak mudah untuk merasakannya. Bahkan, untuk memilikinya. Setiap orang yang jatuh cinta, pasti akan merasa bahagia. Asalkan cinta itu tumbuh dengan sewajarnya, dan di tempat yang seharusnya. Namun, tidak bagiku. Cinta membuatku menderita, merasakan sakit yang tiada tara.

“Mas, kenalin, ini Rania sahabatku sejak SMA!” ucap Vivi ketika memperkenalkanku dengan seorang laki-laki bernama Indra.

 Ketika itu Vivi berniat mencarikanku pekerjaan dan Indra adalah seorang manajer di sebuah restoran ternama. Kesan pertama bertemu dengan Pak manajer, “Pria ini sungguh tampan.”

Ya, dia memanglah tampan. Rambutnya ikal belah tengah, wajahnya mirip sekali dengan artis-artis yang banyak diidolakan masyarakat pada masa kini. Pria bertubuh tinggi itu mengajakku berjabat tangan. Tanpa basa-basi aku pun segera meraih tangannya. Apa yang kurasakan bahwa aku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama.

Aku beruntung memiliki sahabat sebaik Vivi. Meskipun aku bukanlah berasal dari kalangan orang berada, tetapi wanita berlesung pipi itu dengan baiknya mau menerimaku, bahkan mau menganggapku sebagai sahabatnya.

“Terima kasih ya, Vi. Kalau enggak ada kamu... Mungkin, sampai saat ini aku belum bekerja lagi!”

“Santai aja, Ran. Aku cuma mau bantu kamu, kok. Lagian, kemarin  Mas Indra bilang ke aku kalau restoran tempatnya bekerja lagi butuh tambahan tenaga waiters. Ya udah, aku pikir kamu pasti mau kerja di sini!”

Aku memang sedang membutuhkan pekerjaan dan aku tahu, Vivi kan anak konglomert pasti dia punya banyak kenalan yang bisa memberikanku pekerjaan.

*****

Setelah beberapa bulan aku bekerja di restoran, sedikitnya aku menjadi paham akan sosok Pak Indra. Beliau orang yang sangat baik sekali. Walaupun jabatannya sebagai manajer tetapi dirinya sama sekali tidak sombong. Bahkan sangat membaur sekali dengan waiter sepertiku.

Pagi itu Pak Indra begitu sibuk memberikan motivasi untuk para supervisor dan karyawan. Termasuk diriku. Dengan seksama kami semua memerhatikan setiap ucapan dan nasihatnya tapi tidak denganku. Aku justru terfokus kepada ketampanan wajahnya. Seperti yang sudah kukatakan, aku jatuh cinta kepada Pak Indra sejak pandangan pertama dan itu karena wajahnya yang tampan.

“Untuk kamu, Rania. Saya sangat puas dengan hasil pekerjaanmu!”

Saking terkesimanya aku ketika dapat melihatnya dari dekat, sampai-sampai diriku sama sekali tak memerhatikan ucapannya saat laki-laki berwajah manis itu tengah berbicara denganku. Aku justru hanya tersenyum-senyum sendiri hingga Beti, temanku berusaha menyadarkanku dengan mencubit lenganku hingga sakit.

“Aw!” teriakku seraya mengusap-usap bekas cubitan Beti.

“Kamu kenapa, Rania? Dari tadi saya berbicara panjang lebar, kamu malah senyum-senyum sendiri!”

“Ah… Enggak kok, Pak!” kilahku.

Wajahku bersemu. Rasanya ingin ku sembunyikan saja agar laki-laki itu tak melihatnya. Namun, percuma. Pak Indra sudah melihatnya dengan jelas sehingga aku hanya mampu menyeringai seraya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

*****

Setiap hari, aku berusaha untuk datang tepat waktu dan tentu saja itu menjadi nilai plus bagiku di mata Pak Indra. Menurut beliau, aku adalah pekerja yang rajin.

“Sebagai pekerja saja kamu bisa rajin. Apalagi jika sebagai istri.”

“Bapak bisa saja, bercandanya!” jawabku ketika kami baru sama-sama tiba di pintu restoran.

“Saya enggak lagi bercanda, Rania. Saya bisa membedakan antara perempuan yang rajin dengan yang enggak!”

“Masa sih, Pak?! Bagaimana cara membedakannya?”

“Contohnya seperti kamu. Kamu berbeda dari pegawai yang lain. Mungkin, teman-teman kamu yang lainnya saat ini baru mulai melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahnya. Tapi kamu... kamu sudah berada di sini bersama dengan saya!”

Oh, hmm! Ucapan Pak Indra itu sangat menggetarkan jantungku. Sesaat aku bagaikan berhenti bernapas dan seolah ingin pingsan ketika mendengarnya. Sungguh, walaupun dirinya mengatakan bersama dengannya di pintu restoran, pikiranku telah melayang jauh membayangkan kami berdua duduk bersama di pelaminan.

“Rania!” Terdengar seseorang membangunkanku dari lamunan indah itu. Beti si pemilik tubuh gempal telah menggantikan posisi Pak Indra di sampingku.

“Kamu kenapa sih, Ran? Perasaan sering banget senyum-senyum sendiri enggak jelas gitu!”

“Ada deh!” jawabku seraya meloyor masuk ke dalam restoran dan aku tahu, Beti sangat kesal atas tanggapanku.

Hari-hari Pak Indra selalu dihabiskan untuk pekerjaannya dan itu membuatku penasaran, “Apakah beliau sudah memiliki pasangan atau belum? Yang aku dengar, Pak Indra masih lajang.” Aku merasa ada sedikit sebuah rasa kelegaan, setidaknya aku masih memiliki harapan besar. Pikirku.

Aku sering tanpa sepengetahuan dari Pak Indra dan teman-teman, berusaha untuk mengambil  foto pria tertampan di restoran dengan kamera Handphoneku yang murah itu dan tentu saja, foto-foto beliau kujadikan koleksi. Bukan hanya di Handphone saja tetapi juga di dinding kamarku.

“Sekarang baru fotonya yang menemani tidurku. Suatu saat pasti orangnya yang akan menemaniku tidur,” gumamku setiap kali akan tidur malam seraya tersenyum-senyum sendiri.

Pak Indra memang bukan artis tetapi aku sangat mengidolakannya melebihi fans fanatic anggota boyband terkenal. Terkadang... ingin rasanya aku mengungkapkan perasaanku ini kepadanya tetapi aku begitu malu dan aku juga tak ingin dianggap sebagai manusia yang tak dapat mengukur tandukku sendiri. Apa aku tersiksa? Sudah pasti.

****

“Hai, Ran. Apa kabar?” sapa Vivi kepadaku sewaktu ia datang ke tempat kerjaku.

Aku menyambutnya dengan begitu hangat. “Hai, Vi. Aku baik!”

Kupeluk tubuh Vivi yang begitu molek itu. Terukir senyuman sumringah di wajahnya yang cantik dan memesona itu. “Lama kita enggak pernah ketemu. Gimana, kamu betah kan, kerja di sini, Ran?” tanyanya.

“Betah dong! Pak manajernya baik!” jawabku dengan sedikit centil.

Berharap Vivi dapat menanggapi ucapanku ini. Jadi, tanpa aku yang bercerita, Vivi akan menanyaiku terlebih dahulu. Ya Tuhan, ternyata Vivi sama sekali tidak peka.

“Mas Indra memang orang yang sangat baik. Dia baik kepada siapapun dan sebab itulah, aku mau menerimanya sebagai calon suamiku!”

Tidak ada angin, dan tidak ada hujan, aku bagaikan tersambar petir dengan kekuatan lebih dari puluhan miliar joule. Tubuhku menjadi lemas seketika. Aku yang saat itu tengah membersihkan meja tamu, langsung terduduk. Harapan-harapan indah yang selama beberapa bulan ini kubayangkan seakan ada di depan mata, semua hancur tak bersisa. Gambaran-gambaran itu seakan musnah dihantam goresan tinta berwarna hitam pekat. Kali ini, aku benar-benar sudah tak menyadari apa yang dilakukan oleh Vivi ketika melihat ekspresiku.

Perlahan pandanganku mulai terang walau belum begitu jelas. Telingaku tak mendengar apapun selain seruan suara Vivi memanggil-manggil namaku hingga akhirnya aku tersadar.

“Akhirnya … kamu sadar juga, Ran!”

Nampak jelas terlihat wajah Vivi begitu mencerminkan kecemasannya terhadap kondisiku.

“Aku kenapa, Vi?”

“Tadi kamu pingsan. Untung ada Mas Indra. Jadi kami bisa membawamu ke sini!”

Pandanganku beralih ke sosok yang berdiri tepat di samping Vivi. Dia adalah calon suami sahabatku, sekaligus orang yang sangat aku cintai. Aku tak dapat berkata apapun kepadanya, selain mengucapkan terima kasih karena telah membawaku ke rumah sakit.

 

*****

 

Sepulangku dari rumah sakit, Pak Indra memberikanku izin untuk cuti selama beberapa hari. Dirinya menginginkan agar aku beristirahat. Ia juga berjanji tidak akan memotong gajiku tapi, setelah kupikir-pikir akan lebih baik jika aku berhenti saja dari pekerjaan sebagai waiters ini. Rasanya aku tidak akan pernah sanggup jika setiap hari harus bertemu dengan cinta yang terlanjur singgah di hati namun tak dapat kumiliki.

“Kamu yakin, Ran?”

“Yakin, Vi!”

“Tapi, kenapa?”

Vivi berusaha mendesakku untuk memberitahukan alasan mengapa aku ingin berhenti bekerja dari restoran itu. Walau bagaimanapun, Vivi adalah sahabat terbaikku. Aku sama sekali tak ingin melukai perasaannya.

“Aku udah ngedapetin kerjaan yang lebih bagus.” Diriku terpaksa berbohong di hadapan Vivi dan Pak Indra. Tanpa banyak berbicara lagi aku meninggalkan restoran dan semua kenangan manisku di sana.

Vivi adalah sahabatku. Jika aku memaksakan kehendakku, artinya aku bukanlah sahabat yang baik. Biarkan cinta ini aku simpan di lubuk hatiku yang terdalam.

Pak Indra, aku akan selalu mencintaimu!” pekikku dalam hati seraya melangkah menjauh dari keduanya.

Sesampai di rumah, kunyalakan radio kesayangan yang sengaja ku taruh di kamar. Berharap ada acara yang dapat menghibur perasaanku yang tengah kacau. Baru aku menekan tombol play, terdengar sebuah lagu yang sangat menggambarkan permasalahanku. ILUSI TAK BERTEPI milik group band asal Lampung, Hijau Daun Band.

Sungguh, lagu itu begitu sangat menyayat hatiku. Cinta yang tak mampu kumiliki, ternyata adalah milik sahabatku. Seraya memandangi foto-foto Pak Indra yang banyak terpampang di dinding kamarku, aku hanya bisa berharap. Kelak di kehidupan selanjutnya aku benar-benar bisa bersanding dengannya.

SAMPAI JUMPA...!

Tentang Penulis Cerpen

Dwi Kurnialis, kelahiran Tanjung Karang, 1990. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi dalam dunia literasi sejak usia belia. Berharap bisa membuat karya yang bermanfaat dan disukai oleh banyak orang berdomisili di Kec. Sekampung, Kab. Lampung Timur

Dwi Kurnialis dapat dihubungi melalui akun instagram @dwi.kurnialis.dk dan akun media sosial facebook dengan username Dwi Iput Hariyadi.

 

 

 

 

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Masyaa Allah, terima kasih untuk JPI yang sudah memberikan saya kesempatan untuk bergabung di sini.
    Jazakallahu Khairan untuk semuanya. 😃😃😃

    BalasHapus