IKLAN

www.jaringanpenulis.com

Mayola Amanda, Penulis Cerpen "Me Too"

 Cerpen Remaja


Me Too

karya Mayola Amanda



sumber gambar : google


Aku melangkah di koridor dengan langkah yang pelan. Takut Pak Budi tau bahwa aku telat masuk sekolah lagi. Ini yang kelima kalinya aku telat datang ke sekolah. Benar-benar konyol. Bagaimana bisa aku selalu datang telat? Dan kenapa harus selalu Pak Budi yang memergokiku telat. Guru kiler yang ditakuti oleh semua siswa.

Aku melihat ke belakang takut Pak Budi memantauku dari belakang. Ketika aku menoleh ke depan, langkahku terhenti dan sontak aku berteriak. Aku terdiam mematung. Pak Budi berdiri di depanku. Kumisnya yang melambai dan tatapan tajamnya itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku menyeringai. Lalu melambaikan tanganku.

“Selamat pagi Pak,” ucapku sambil tersenyum canggung.

Pak Budi terdiam dan hanya menatap tajam ke arahku. Dia menarik napas dalam. “Nayla… Saya sedang tidak mau marah.” Pak Budi menoleh ke belakang.

“Raka… urus!” Pak Budi kembali melihatku.

Lalu dia berjalan melewatiku dan berlalu begitu saja. Aku melihat seorang pria berdiri di depanku. Dia bertubuh tinggi, berwajah tampan manis dan berseragam sama denganku. Dia menatap dingin ke arahku. Rasanya seperti disambar petir. Lebih baik aku dimarahi oleh Pak Budi daripada harus bertemu dengan pria ini.

Dia bernama Raka. Sang ketua OSIS, dia seangkatan denganku. Laki-laki yang terkenal sangat dingin dan jutek, tapi dikagumi oleh banyak wanita. Dan aku salah satu dari wanita itu. Maka dari itu aku sangat malu jika harus bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini.

Aku tersenyum kaku ke arahnya. Namun hanya dibalas tatapan sinis oleh Raka. Raka berjalan melewatiku.

“Ikut denganku,” ucapnya sambil berlalu begitu saja.

Aku segera mengikuti langkahnya. Raka membawaku ke lapangan. Aku sudah tahu apa yang akan aku lakukan di sini. Pasti aku disuruh lari lima kali keliling lapangan. Hukuman yang selalu diberikan oleh Pak Budi.

“Lari tujuh keliling,” ucapnya.

Mataku melotot, “Tujuh kali keliling? Ya kali! Biasanya juga lima kali keliling.”

Raka menatapku aneh.

“Udah salah ngotot, ya?” cetusnya.

Aku terdiam dan hanya menghembuskan napas pelan. Lalu aku melepaskan tas hitam yang sedari tadi aku pakai.

“Aku bakalan nungguin kamu di sini,” ucap Raka.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Nanti kamu kabur lagi!” cetusnya sambil membalikkan tubuhnya begitu saja.

Aku menatap sinis punggungnya. Raka duduk di kursi yang berada di pinggir lapangan.

“Untung ganteng,” lirihku.

Aku mulai melakukan pemanasan dengan menggerakkan pergelangan kakiku beberapa kali. Aku melihat Raka yang sedari tadi memperhatikanku dengan tatapan dinginnya. Aku mulai berlari dengan kecepatan pelan.

Aku sudah berlari tiga kali keliling. Keringat mulai bercucuran dan aku mulai lelah. Biasanya aku tidak pernah mudah lelah seperti ini. Aku ini seorang atlet basket, berlari seperti ini sudah menjadi sesuatu hal yang biasa bagiku tapi sayangnya, pagi ini aku lupa tidak sarapan.

Aku berusaha untuk terus berlari sampai tujuh kali keliling. Namun tiba-tiba langkahku mulai pelan, pandanganku menjadi buram. Kepalaku sangat pusing. Aku pikir aku tidak bisa terus menerus menahannya. Akhirnya tubuhku terjatuh ke tanah. Aku pingsan tak sadarkan diri.

Raka yang melihatku pingsan langsung berdiri dan berlari menghampiriku dengan cepat. Lalu dia berusaha mengangkat tubuhku yang berat ini. Raka membawaku ke UKS. Dia tampak sangat panik. Entah, kenapa dia bersikap berlebihan seperti ini?! Sangat aneh jika pria sedingin Raka bersikap seperti ini padaku.

Raka berhasil membawaku ke UKS. Aku diberikan pertolongan oleh perawat sekolah yang selalu stay di ruang UKS. Untungnya aku hanya kelelahan saja. Perawat bilang sebentar lagi aku akan segera sadar. Namun tetap saja Raka masih tampak cemas. Apa mungkin dia merasa bersalah kepadaku? Ah sudahlah, aku tidak ingin berpikir papa pun tentang pria yang tidak mudah ditebak ini.

Setelah beberapa puluh menit, akhirnya aku kembali sadar. Aku membuka mataku dan melihat Raka berdiri sambil memandangku. Aku sontak terkejut.

“Raka?” lirihku.

“Syukurlah... Kamu udah sadar. Kamu udah baikan, Nay?” tanyanya.

Aku terdiam, aku bingung kenapa dia bisa tahu namaku, padahal, ini kali pertamanya kita berbincang seperti ini.

“I… iya… Aku baik-baik aja kok,” ucapku.

Aku menekan telapak tanganku, berusaha untuk bangun. Raka membantuku untuk bangun dengan memegang pundakku. Aku terdiam canggung. Aku menatap Raka.

“Makasih, Ka,” ucapku.

“Sama-sama,” jawabnya.

Suasan menjadi hening, kami terdiam, dan rasanya sangat canggung.

“Ya sudah. Aku… Aku pergi dulu. Aku harus masuk kelas.”

Aku segera mengangguk.

“Iya! Kamu pergi aja,” ucapku.

Raka membalikkan tubuhnya lalu melangkah menuju ke luar ruangan. Aku terdiam dan hanya memandang punggung Raka. Tiba-tiba langkah Raka terhenti. Dia menoleh ke arahku.

“Nayla?” ucapnya yang suaranya terdengar tegang.

“Iya?” tanyaku.

“Kamu pulang naik apa?” tanyanya tiba-tiba dan berhasil membuatku bingung.

“Hah?” Aku terkejut dengan pertanyaan Raka.

“Sebagai permintaan maaf, aku boleh anterin kamu pulang?” tanya Raka yang tampak ragu.

Aku hanya bengong, tak langsung menjawab. Ini sungguh sesuatu yang sangat langka. Seorang Raka, pria terdingin dan terjutek sesekolahan mengajakku pulang bareng.

“Dia mengajakku? Aku; Nayla si tukang telat dan tak disiplin ini diajak pulang bareng seorang Raka?!” batinku.

“Nay?” Raka membuyarkan lamunanku.

“Ah, iya! Oke deh,” ucapku dengan suara yang terdengar meninggi.

Raka tersenyum manis.

“Ya sudah, nanti aku tunggu di parkiran ya.” Raka pergi begitu saja setelah mengatakan itu.

Aku masih terdiam, tak menyangka Raka mengajakku pulang bareng. Aku langsung berteriak kegirangan. Akhirnya, pria yang aku sukai selama ini mengajakku pulang. Aku akan dibonceng oleh motor ninja merahnya, yang tidak pernah di tempati oleh wanita mana pun. Bisa dibilang ini adalah salah satu pencapaian terbesarku. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan Raka. Jangan sampai aku melakukan kesalahan.

Bel waktu pulang berbunyi. Aku segera memasukkan buku dan pulpen ke dalam tasku. Lalu langsung berjalan dengan cepat ke luar kelas. Aku berlari menuju tempat parkir sekolah. Langkahku terhenti ketika aku melihat Raka yang sedang berdiri di dekat motornya.

Aku menyeringai.

“Raka!” teriakku.

Raka langsung menoleh ke arahku. Aku langsung menghampirinya. Aku tersenyum lebar ke Raka ketika aku berhadapan dengannya.

“Beneran kamu mau nganterin aku pulang?” tanyaku.

“Iya,” jawabnya.

“Tapi gak ada yang marah kan?” tanyaku lagi.

Raka tersenyum. Lalu menggelengkan kepala pelan.

“Gak ada.”

Senyumku mengembang.

“Ya sudah. Ayo!” ucapku sambil menyembunyikan rasa senangku ini.

Raka memakai helm-nya, lalu dia memberikan helm berwarna putih kepadaku. Aku memakai helm itu. Raka menaiki motornya dan menghidupakan mesinnya. Aku menaiki motor Raka. Lalu memegang baju Raka.

Semua orang yang ada di sana tampak terkejut melihatku berboncengan dengan Raka. Tentu saja, selama dua tahun kami bersekolah, tak ada yang pernah duduk di jok motor Raka, dan hanya aku seorang.

Motor Raka melaju melewati banyak orang yang sedang jalan. Ada segerombolan cewek memandangku dengan sinis. Aku tau mereka sangat iri. Cewek-cewek ini adalah penggemar garis keras Raka yang selalu berteriak jika Raka melewati mereka. Aku melambaikan tanganku kepada segerombolan cewek itu. Lalu melempar senyuman bahagia yang tentu saja membuat mereka sangat kesal.

“Rumah kamu di mana, Nay?” tanya Raka.

“Di Perumahan Griya Citra, Ka.”

“Oke.”

Saat di perjalanan keadaan di jalan tampak macet. Kami terjebak di lampu merah. Tapi tidak apa-apa, aku rela jika harus terjebak macet dengan Raka. Ini yang diinginkan oleh semua wanita yang menyukai Raka.

“Raka, thank’s ya udah mau nganterin pulang,” ucapku.

“Sama-sama, Nay. Santai aja,” ucap Raka.

Tak lama kemudian lampu hijau menyala. Motor Raka melaju. Saat di persimpangan tiba-tiba ada motor menerobos dan hampir menabrak motor yang dikendarai oleh Raka. Raka langsung menghindari motor itu dan membuat motor yang ditumpaki kami menabrak trotoar.

Kami terjatuh. Sedangkan motor itu melaju begitu saja. Aku meringis kesakitan. Lututku berdarah. Benar-benar menyebalkan. Raka segera membantuku untuk bangun.

“Kamu gak apa-apa kan?” tanya Raka yang tampak cemas.

“Lututku berdarah,” ucapku.

“Ya sudah. Kamu duduk dulu di sini. Aku ke apotik dulu.”

“Gak usah Ka. Aku gak apa-apa kok,” ucapku.

“Gak, Nay. Nanti lutut kamu infeksi. Aku pergi dulu. Kamu tunggu di sini!”

Raka pergi begitu saja meninggalkanku dan motornya yang masih tergeletak di aspal. Aku memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang ada di dekat trotoar. Aku menunggu Raka yang belum juga tiba. Lalu dari arah lain tampak Raka sedang berlari sambil membawa keresek berwarna putih ke arahku.

“Maaf lama,” ucapnya yang terlihat lelah.

Raka duduk di sampingku. Lalu membuka plester dan betadine. Lalu dia teteskan betadine itu ke luka yang ada di lututku. Aku meringis kesakitan. Raka langsung meniup lukaku pelan. Aku menatapnya. Rasanya seperti mimpi. Setelah itu Raka menempelkan plester ke luka itu.

“Makasih ya, Ka,” ucapku.

“Sama-sama. Maaf ya, gara-gara aku gak hati-hati jadi kamu terluka.” Raka tampak menyesal.

“Santai aja kali, Ka. Luka kaya gini gak ada apa-apanya, lagian udah biasa kok.”

Raka tersenyum.

“Aku lupa. Kamu kan atlet basket.”

Aku terdiam.

“Kenapa bisa Raka tahu bahwa aku pemain basket?”

“Kok kamu tahu sih, Ka?” tanyaku penasaran.

Raka terdiam.

“Kamu juga tahu namaku,”  ucapku.

“Itu… itu karena… karena,” Raka menatapku dengan dalam.

“Aku penggemar kamu dari dulu,” lanjutnya.

Aku langsung terdiam. Tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Raka.

“Raka menggemariku? Mana mungkin. Aku belum mengatakan apa pun.”

“Nayla?” lirih Raka.

“Hah?”

“Kamu denger kan?” tanya Raka.

“I… iya! Aku denger.”

“Lalu?”

“Lalu? Lalu apa?” tanyaku yang tampak bingung.

Raka menundukkan kepalanya.

“Maaf, aku pikir… Kamu juga suka sama aku.”

“Raka! Maksud aku gak gitu. Aku… Aku cuman bingung aja. Aku pikir kamu gak suka sama aku,” ucapku dengan suara terbata-bata.

Raka menyeringai.

“Mana mungkin aku gak suka sama kamu, Nay!”

Raka menatapku dalam.

“Cewek terkeren yang pernah kutemui,” lanjutnya.

Aku tersenyum tersipu malu. Kejadian itu berhasil membuatku dan Raka semakin dekat. Bukan hanya dekat, kami bahkan berpacaran. Kami berpacan tanpa mengenal kata PDKT. Benar-benar lucu. Aku harap hubungan kami bisa bertahan lama.

Akhirnya laki-laki yang aku sukai selama dua tahun ini menyatakan perasaannya padaku. bukan aku yang duluan, tapi dia. Tak perlu aku lakukan hal aneh untuk mendapatkan hatinya, dia sudah suka padaku sejak dulu. berarti itu artinya, sejak lama kami memendam rasa suka satu sama lain. Manis bukan?

SEKIAN

 

Biodata Penulis Cerpen

Nama              : Mayola Amanda Putri

Usia                 : 23 tahun

Email              : mayolaamandaaa@gmail.com

IG                    : mylaamnda

 

 

Posting Komentar

1 Komentar