IKLAN

www.jaringanpenulis.com

ATAS IZIN TUHAN ditulis oleh Gladis Dwi Atmaja

Cerpen Romantika Remaja Masa Kini


sumber foto : ayobandung.com

Tersisa waktu 4 menit sebelum kapal itu melangkah menjauh dari dermaga. Aku berlari secepat citah ke badan pemeriksa. Lalu, memasuki kapal. Aku menatap sekitar. Ternyata, ada tempat duduk yang kosong di sebelah jendela. Tanpa berfikir panjang aku langsung menduduki kursi penumpang sambil menatap lepas jendela perairan berhias senja di ufuk cakrawala.

"Siapa namamu pemuda?"

Aku menggerutu, “Kenapa wanita ini menganggu pekerjaan pentingku? Pekerjaan pentingku menatap lembayung senja.”

"Lintong." Aku menjawab pendek.

"Nama yang aneh.”

Aku tidak peduli sembari berpikir, “Toh itu juga bukan namamu.”

"Kau sendirian?" tanyanya padaku.

Sejenak aku membatin, melihatnya, “Sudah jelas-jelas aku sendirian. Mengapa kau masih bertanya?”

"Rupanya kau terganggu dengan ocehanku,” ucapnya sambil terkekeh.

"Ah, tidak seperti itu!” ucapku sambil nyengir.

"Berapa umurmu anak muda?"

"24 tahun,” jawabku singkat.

"Kenapa kau terlihat tua dari pada umurmu?"

Aku tersenyum sekilas. Tidak memperdulikannya.

"Ayolah aku hanya bercanda! Eh, rupanya kapal akan segera berlayar. Ngomong-ngomong sudah berapa kali kau naik kapal?"

Benar sekali, kapal akan segera meninggalkan kota ini.

"Ah, rupanya kau sedang lelah, Nak!”

Aku tersenyum seraya menggeleng. 

"Jika tidak, maka kau sedang patah hati." 

"Eh…." Aku menelan ludah.

"Benar bukan? Jika anak muda sepertimu menjadi murung, apalagi masalahnya kalau bukan cinta? Itu hal yang biasa dialami oleh para pujangga seumuranmu. Sewaktu aku seumuranmu, aku juga pernah merasakannya.” Wanita itu tersenyum ikhlas.

Wanita ini benar. Bagaimana bisa aku merasa sendiri?!

"Sampai sekarangpun aku juga masih merasakannya. Rasa cinta,” ucapnya sambil mengelus rambutnya pelan. 

Aku memandanginya sembari mendeskripsikan pada tetesan penaku. Wanita ini keriput. Umurnya mungkin 45 tahunan.

"Siapa nama wanita yang kau cintai?"

Aku menelan ludah. Tidak ingin mengatakan.

"Wanita tua ini banyak bertanya ya?” ucapnya sambil tersenyum.

"Tidak juga. Ngomong-ngomong anda akan pergi ke luar negeri juga?"

"Tidak,” ucapnya datar.

"Aku sedang mengunjungi makam suamiku," sambungnya.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal. Kemudian meminta maaf.

"Tidak apa," ucapnya.

"Lihatlah!” sambung wanita itu seraya menunjuk keluar jendela.

"Di sana makamnya."

Aku mengikuti arahan tangannya.

“Di mana? Kenapa aku hanya melihat perairan? Di mana makam suami wanita ini?” batinku sembari memainkan kedua bola mataku.

"Kapalnya karam tetapi cintaku tidak."

Aku menatap wanita itu. Jika aku menjadi dia, aku pasti akan menjauh dari air bahkan mungkin bisa tidak mandi seumur hidupku supaya tidak mengingat kisah yang telah berakhir itu.

"Kisahnya mungkin berakhir tetapi dia selalu ada dimanapun aku berada. Kau tahu kan maksudku, Nak? Jika dia tidak mencintaimu tidak seharusnya kau pergi dari tempat kenanganmu. Kemanapun kau pergi dia akan selalu berada dalam ingatan." Begitu ucapannya meyakinkanku.

"Kau dan suamimu saling mencintai tetapi aku dan dia tidak,” tegaaku pasrah.

"Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu… Apakah suamiku mencintai diriku atau tidak?! Tetapi aku yakin jika aku tulus mencintainya. Tuhan pasti akan membolak-balikkan hatinya."

"Kalian menikah tanpa cinta?" Aku mulai ingin tahu lebih tentangnya.

"Awalnya… Namun, kini aku mencintai dia dan aku tidak pernah mengatakannya. Dia juga tidak pernah mengungkit tentang rasa.” Wajahnya pucat pasi.

Kukra wanita separuh baya ini menjengkelkan tetapi semakin kesini aku jadi terkagum dengan ceritanya.

"Dia pasti mencintaimu." Aku mencoba meyakinkan.

"Siapa wanita itu?" tanyanya.

Aku mengusap dahi pelan.

"Anggi,” ucapku lirih.

"Lalu?" Dia bertanya.

“Lalu apa? Apa yang mau di perjelas? Semua sudah berakhir,” berontakku dalam diam.

"Sepertinya kau tidak mau bercerita. Baiklah pemuda,” ucap wanita itu sambil menutup matanya.

Bersandar. 10 menit sudah aku tidak mendengar suara wanita tersebut. Entah, dia memang sudah tidur atau berpura-pura tidur. 

"Hai, Nak… Aku tahu kau sedang risau. Kau tidak ingin berbagi?"

Aku kaget bukan main membuat batinku bertanya menyelidik, “Bukankah dia sedang tidur?”

"Anggi. Dia teman sekolahku sekaligus cinta pertamaku. Wanita sederhana dan tidak banyak bicara,” ucapku memulai kisah.

"Aku mencintai Anggi semenjak duduk di bangku SMA. Ketika umurku masih belasan tahun hingga kini,” ucapku sambil menarik nafas panjang.

"Genap 2 tahun lalu, aku mencoba mengungkapkan perasaanku padanya namun perasaan kami berbeda. Aku mencintainya dan dia tidak.” Begitulah ujarku sembari meninggalkan senyum kecut.

"Seminggu setelah aku mengungkapkan isi hatiku kepadanya, ia pergi. Entah, kemana?! Aku tidak pernah mencari tahu."

"Tetapi hatimu merindu. Bukankah begitu anak muda?" sela wanita itu.

Aku menelan ludah.

"Lalu, kenapa kau ingin pergi dari kota menuju ke luar negeri?”

"Melepas penat dan melepas semua kerinduanku lewat perantara ini." Aku menatapnya.

"Lepaskan saja di sini sekarang. Biarkan karam di telan lautan,” ucapnya sambil menatap perairan dari balik jendela.

"Jika kau tidak mau melepasnya sekarang. Maka, jangan pernah kau lepas! Mungkin saja penatmu akan hilang bila bertemu dengan Anggi atau perantaranya?!"

Aku menyeringai. Sebuah patung unik itu muncul di kepalaku karena patung itulah perantaranya.

"Hmm, 6 tahun yang lalu aku selalu menanti suamiku… Menanti untuk mengatakan cinta."

Aku melipat kedua tanganku. Ikut bersandar.

"Nyatakanlah cinta sekali lagi. Tuhan maha pembolak-balikkan hati." 

"Tidak. Dia meninggalkanku 2 tahun lalu tanpa pamit. Ini terlalu sakit,” sahutku dengan nada tingggi.

"Setidaknya jika Tuhan mengizinkan kalian bertemu. Maka, sekali saja kau ungkit lagi tentang perasaanmu." Wanita itu ucapannya berusaha meyakinkanku tetapi aku sendiri merasa bimbang.

"Jangan sampai kau menjadi seperti diriku!” Begitu nasihat yang dilontarkan sembari nada lemas.

"Lihat, Nak! Kapal sudah sampai di negeri tujuan kita." Beritanya sambil mempersilahkan aku untuk pergi.

"Ke mana tujuan anda sekarang?" Aku mencoba akrab dengan wanita ini.

"Kembali ke kota awal kita bertemu."

Aku menelan ludah. Dia pasti konglomerat. Aku melambaikan tanganku kepadanya dan segera keluar dari kapal. Tujuanku kali ini adalah melihat patung unik yang menjadi perantara aku dan Anggi.

***

Persis 3 Minggu sudah aku berdiam diri di kota awal aku bertemu dengan wanita itu setelah liburan yang menyenangkan. Aku telah mengirim surat lamaran ke mana-mana tetapi belum ada satu pun yang menerima. Aku merebahkan badanku di dipan tempat tidur. Kemudian menutup mata. Belum sampai aku tertidur aku malah mendengar suara ketukan pintu. 

"Sedikit menyebalkan,” pekikku.

Aku melangkah ke arah pintu dan membukanya.

"Surat!" Suara khas ala pengantar surat itu terdengar di telingaku.

Tukang surat menghampiriku sambil memberikan dua surat kepadaku. Setelah aku menandatangani, tukang surat itu pergi. Aku menutup pintu dan duduk seraya meletakkan surat itu di atas meja. Kubuka satu per satu.

"Akhirnya, setelah sekian lama aku menanti. Aku diterima kerja pula." Aku bersorak senang.

Jika seperti ini, aku tidak akan mati kelaparan. Aku melihat surat yang kedua. Aku membatin, “Apakah ini juga surat yang menandakan aku diterima di perusahaan tersebut? Lalu aku harus memilih yang mana?”

Perlahan aku mulai membacanya.

To : Anggi

Lintong, Ini Anggi. Maafkan aku telah memendam perasaanku dan membiarkanmu salah paham. Maafkan aku pula yang ingin menjauh darimu karena tidak mau melihat Lintong sedih. Keadaanku dua tahun terakhir ini semakin memburuk, maka dari itu aku akan menetap di luar negeri untuk berobat di sana. Doakan aku bisa sembuh dan segera melihat keindahan patung unik yang menjadi perantara kita bertemu dan aku ingin melihat bersamamu. Jika Tuhan mengizinkan aku sembuh, aku pasti akan pulang ke kota dan menemui dirimu; Lintong. Oh ya, bagaimana kabarmu di sana Lintong?

Salam hangat

Anggi

Sejenak aku mengusap dahi. Aku baru tahu jika ternyata, surat ini ditulis 5 hari sebelum aku menerimanya secara tanggal pengirimannya itu lho! Aku kembali mencemaskan bagaimana kondisi Anggi sekarang. Hal yang membuatku penasaran ialah kenapa dia baru memberitahukan hal ini sekarang?! Aku menyimpulkan kalau aku tidak perlu menunggu Anggi kemari. Segera aku memutuskan kalau aku yang akan kesana karena aku ingin membenahi hubunganku dengan dia dan aku ingin menjadi penyemangat melawan sakitnya.

Aku yakin Anggi akan sembuh. Kini aku bertekad akan pergi esok hari. Setelah sembuh aku akan mengajaknya melihat patung unik itu bersama seperti keinginan aku dan dia dulu saat masih menjadi teman serta persis dengan keinginan yang Anggi tulis. Hmm, aku harap Anggi mau menerimaku menjadi suaminya. Semoga saja saat aku melamarnya nanti di saksikan patung unik itu, apalagi aku juga sudah mendapat pekerjaan dan berjanji akan menerima semua yang terjadi di masa lalu.

Aku segera mempersiapkan koperku. Kemudian aku berjanji pada diriku jika aku tidak akan mengungkit lagi kejadian dua tahun silam dan akan selalu menjaganya atas izin Tuhan. Sejenak aku jadi kepikiran dengan ucapan wanita separuh baya itu. Ternyata, wanita itu ucapannya benar jika tidak seharusnya aku berhenti berjuang dan memilih murung serta menjadi pencundang yang memilih berlari dari semua kenangan.

“Jika Tuhan mengizinkan Anggi sembuh, aku pasti akan mengenalkannya ke wanita tersebut. Tuhan, aku percaya pasti Engkau akan memgabulkan doaku,” tutupku dalam doa sembari menjemput kisah cintaku yang baru dengan Anggi.

***SEKIAN***


BIODATA PENULIS

GLADIS DWI ATMAJA seorang siswi SMA yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis. Gladis adalah panggilan saya sehari-hari, saya tinggal di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

MEDIA SOSIAL

- Akun instagram @09.gladisdwi_atmaja 

- Akun email gladisdwiatmaja@gmail.com.


Posting Komentar

0 Komentar