IKLAN

www.jaringanpenulis.com

KISAH SISWA BARU ditulis oleh Asti Pravitasari

Cerpen Keluarga yang Mengharukan


KISAH SISWA BARU

Oleh: Asti Pravitasari

sumber gambar dari google.com


Namaku Laura Esterna. Orang suka memanggil aku Laura atau Esterna. Aku lahir dan besar di Jakarta. Seorang perempuan yang baru masuk SMA, Tetapi belum punya kekasih.

Aku memiliki seorang ayah bernama Anggoro. Beliau berasal dari Blora, Jawa Tengah. Sedang ibuku telah meninggal, waktu lahirkan aku. Namanya Tresni. Aku sangat merindukan sosok ibu. Meski belum pernah bertemu dengan beliau.

Aku juga memiliki sahabat yang tinggal sekamar denganku. Namanya Niken. Orang tua Niken meninggal akibat kecelakaan, waktu kami masih kecil. Di kamarku, sengaja diberi dua kasur yang besar. Satu untuk aku, yang satu lagi untuk Niken.

Sebelum meninggal, ayah Niken berpesan pada ayahku. Katanya, “Pak Anggoro, jika saya tidak tertolong. Saya mohon, jagalah Niken dan anggaplah dia sebagai anak Bapak sendiri.”

Begitulah cerita ayah hari ini. Karena itu, Niken diperbolehkan memanggil ayah seperti ayahnya sendiri, sejak dia pertama kali tinggal di rumah kami.

***

Keesokannya, aku dan Niken berangkat ke sekolah. Kami sekolah di SMA yang elite dan menjadi favorit banyak orang di Jakarta. Hampir semua orang Jakarta sangat ingin anaknya ada di sana. Aku bangga bisa sekolah di sini. Apalagi, bersama Niken, sahabatku.

“Niken, kamu duduknya bersamaku, ya.” Aku meminta Niken duduk denganku. Tadinya, dia bingung mau duduk bersama siapa.

“Baik, Laura. Aku cari tempat duduk kita dulu, ya?” Niken memilih tempat duduk di depan. 

“Apakah tidak masalah, duduk di depan?” tanyaku.

“Ya, tidak apa-apa.” Niken bersikeras.

“Ya sudah, kalau begitu. Kita taruh tas dan keluar kelas untuk mengikuti MOS, yuk.” Aku mengajak Niken ke halaman sekolah.

Bapak/ibu guru berkumpul di halaman sekolah. Mereka menanti semua murid kelas X berkumpul untuk saling memperkenalkan diri. Aku dan Niken adalah orang yang pertama ber-gabung di halaman ini. 

“Lho, mana teman-teman kalian?” tanya salah satu bu guru.

“Saya tidak tahu, Bu Guru,” jawabku.

“Ya sudah, kalian boleh duduk di depan kami.”

“Baik, Bu. Duduk di rerumputan, ya, Bu?” tanya Niken yang celingukan mencari tempat duduk.

“Tentu saja.”

“Wah, seumur-umur, belum pernah aku duduk di bawah! Bagaimana ini, Laura?” bisik Niken.

“Tidak apa-apa. Sekali-kali duduk di sini.” Aku menarik tangan Niken, agar dia mau duduk.

Akhirnya, teman-teman datang. MOS ini segera dilaksanakan. Karena ini MOS pertama kali, kami memulainya dengan sesi perkenalan. Dimulai dari para guru.

“Nama ibu, Agraeni. Kalian bisa panggil ibu Eni. Ibu adalah wali kelas X IPS 1.”

“Wah, Bu Eni adalah wali kelas kita, Ra!" Niken berbisik padaku.

“Iya, Niken.” Aku juga berbisik menjawab Niken.

Selesai sudah para guru memperkenalkan diri. Sekarang, giliran kami, para murid untuk memperkenalkan diri. Herannya, Bu Anggraeni meminta aku pertama memperkenalkan diri.

“Namaku Laura Esterna. Nama panggilku Laura atau Esterna. Hobiku membaca dan beli tas branded.”

“Aduh, beli tas branded?! Apakah tidak memboroskan uang itu?” tanya salah seorang teman untuk meledekku.

“Ya biarin. Toh, aku membeli tas branded memakai uang orang tuaku. Bukan pakai uang kamu.” Aku membela diri.

“Iya, sih. Tetapi, apa tidak kasihan orang tua kamu?” tanya Doni.

“Sudah. Kok, kalian malah bertengkar?” tanya Bu Anggraeni.

“Laura, kamu boleh duduk lagi."

“Baik, Bu Guru.”

“Ok. Selanjutnya kamu yang duduk di sebelahnya Luara.”

“Namaku Niken Lestari. Aku ini dipanggil Niken. Hobiku memasak dan menonton televisi.”

“Nah. Ini baru keren. Tidak seperti Laura yang glamor. Ha … ha … ha … .”

Aduh, amarahku memuncak mendengar Doni membandingkan aku dengan Niken! Jelas kami berbeda. Anak kembar saja tidak ada yang sama, hobinya. Apalagi kami, bukan anak kembar. Bersaudara pun tidak.

“Ok. Sekarang kamu boleh duduk lagi, Niken.” Bu Anggraeni memperbolehkan Niken duduk lagi.

“Sekarang giliran kamu. Ayo maju.” Beliau menunjuk Doni untuk maju dan memper-kenalkan diri.

“Na … nama saya Doni Limbardi. Sa … saya berusia 17 tahun. Hobi saya olahraga karate dan bersepeda.” Perkataan Doni terpatah-patah karena gugup.

“Baiklah. Doni, kamu boleh duduk.” Bu Anggraeni menyelamatkan Doni dari cercaan teman-teman.

“Aduh. Kenapa dibiarkan duduk, sih. Ya, padahal ‘kan aku penasaran sama kelanjutan perkenalan Doni.” Aku berbisik pada Niken.

 “Jangan begitu, Laura. Nanti juga kamu bisa kenal sama dia. He … he … he … .” Niken malah membuatku kesal.

“Apa, sih, kamu ini?!"

“Ok, semua murid kelas X baik IPA maupun IPS. Sekarang, kalian boleh pulang. Ya, karena perekenalannya sudah usai. Untuk yang tadi bertengkar, jangan bertengkar lagi di jalan, ya. Karena bahaya, bila bertengkar.” Pak kepala sekolah meledek aku dan Doni.

“Baik, Pak.” Pipi Doni memerah.

“Ayo segera pulang, Niken! Aku capek,” ajakku.

Kami pun sampai di parkiran. Niken pun meminta aku mempercepat kendaraan, karena dia mau segera melanjutkan menggambar untuk diikutkan lomba yang deadlinenya besok.

Aku turuti permintaan Niken. Kupercepat laju kendaraanku. Namun, sampai di rumah ada ayah. Beliau memarahi kami.

“Laura, ayah sudah bilang berulang kali. Jangan ngebut kalau mengendarai sepeda motor! Kenapa sekarang kamu ulangi lagi kesalahan yang sama?”

“Lho. Ayah libur, ya? Kok, jam segini ada di rumah?” tanyaku.

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Ra.” Ayah masih saja memarahiku.

“Maafkan Laura, Ayah. Laura janji tidak akan ngebut lagi kalau berkendara. Tadi, Niken minta Laura ngebut karena dia mau melanjutkan menggambar dan dikirim kepada penyelenggara menggambar.”

“Ya sudah. Ingat. Lain kali, jangan ulangi kesalahan yang sama, ya?”

“Baik, Ayah. Maafkan Laura, ya?”

“Ya. Sekarang kalian boleh ganti baju dan makan siang dahulu. Baru Niken diperbolehkan menyelesaikan menggambarnya.”

“Siap, Ayah!” seru kami bersamaan dan seperti memberi hormat  pada ayah.

Aku dan Niken masuk kamar. Lalu, kami makan siang bersama. Niken tampaknya tidak tenang dan melihat jam dinding yang ada di ruang makan terus.

Setelah selesai makan, dia langsung masuk kamar dengan berlari dan mengambar. Ayah menengok kamar sebentar dan melihat gambar Niken tentang seorang gadis yang sedang mencuci pakaian di sungai.

“Gambarmu bagus sekali, Niken.” Ayah mengagetkan Niken dengan pujiannya.

“Terima kasih, Ayah.” Niken menjawab sekenanya.

Setelah itu, dia melanjutkan meng-gambar.

Aku juga ingin bisa menggambar seperti Niken. Sayangnya, aku tidak bisa. Dari SD, aku tidak bisa menggambar. Kalau ada tugas seperti itu, Niken yang membantu aku menggambar. Tinggal aku tulis nama dan parafku.

“Niken, yang semangat menggambarnya.” Aku menyemangati Niken dari kasurku.

“Terima kasih, Laura. Saudara sekaligus sahabatku sayang.”

Aku sangat senang, Niken akhirnya juara satu menggambar kemarin. Tentu saja, dia sangat bahagia hari ini. Dipandanginya uang dan piala yang baru saja dia terima, subuh ini. Puji Tuhan, aku bisa mengantar gambarnya ke gedung tempat lomba tepat waktu. Kami hampir saja telat mengumpulkan hasil gambar Niken, kemarin.

"Niken, selamat, ya. Akhirnya, kamu bisa menang hari ini." Ayah kami mengucapkan selamat pada Niken.

Perkataannya membuat pipinya memerah.

"Terima kasih, Ayah." Niken memeluk ayah dengan hangatnya.

"Uwu. Aku tidak dipeluk juga, nih?" tanyaku pada mereka.

"Sini, kami peluk," kata ayah.

Kami pun berpelukan tanpa melihat jam di tangan kami. Ternyata, sudah jam 06.00. Waktunya kami bersiap untuk berangkat sekolah. Aduh, aku takut kami telat. Ya, Tuhan. Kalau telat bagaimana ini?

"Laura, ayo segera mandi! Kamu di kamar mandi atas. Aku di kamar mandi bawah, ya?"

"Ya sudah, Niken."

Dengan cepat, kami mandi dan bersiap-siap untuk sekolah. Untung saja, tepat jam 06.30 kami selesai bersiap dan berangkat sehingga kami tidak terlambat ke sekolah.

Hari ini adalah MOS hari kedua. Tidak sabar rasanya, mengetahui kegiatan untuk hari kedua ini.

"Laura, Doni mencarimu. He ... he ... he ... ." Niken mulai membuatku naik darah.

"Niken, jangan gitu kamu!"

Terjadilah kejar-kejaran di antara kami. Aku sampai jatuh di rerumputan. Doni benar-benar melihatku jatuh. Bukannya membantu, dia malah menertawaiku. Ya sudahlah, apa boleh buat. Kemarin, 'kan aku memarahinya. Niken pun membantuku berdiri.

"Iya, Nenek. Aku akan ingat selalu pesan Nenek." Aku meledek Niken dengan memeragakan sosok seorang nenek dengan tongkatnya.

"Eh.. Siapa yang nenek? Bukannya kamu?" tanya Niken.

"Aku menjadi nenek, masih puluhan tahun lagi. La, kamu? He ... he ... he ... ."

"Laura!" bentak Niken.

Bentakan Niken seiring dengan kedatangan Bu Anggraeni di halaman sekolah. Beliau merasa heran pada Niken dan menegurnya.

"Niken, ternyata kamu suka membentak, ya?" tanya Bu Anggraeni keheranan.

"Maaf, Bu. Tadi keceplosan. Habis, Laura bikin ulah, Bu." Niken berusaha membela diri.

"Kan, kamu yang pertama mulai, Niken?" Aku bertanya pada Niken perihal duduk masalah yang sebenarnya.

"Sudah, kalian kenapa bertengkar? Kemarin bertengkar dengan Doni. Sekarang bertengkar dengan sahabat sendiri. Bisa-bisa, ibu hukum kalian." Bu Anggraeni menggertak kami.

"Ampun, Bu. Kami tidak akan mengulanginya lagi." Aku dan Niken serentak berbicara.

"Kalian janji?" tanya Bu Anggraeni.

"Janji."

"Wah, gadis glamor dan gadis sederhana me-ngucap janji nih!" Doni tiba-tiba meledek kami.

"Apaan sih, kamu?" tanyaku pada Doni.

"Hayo. Tadi, 'kan sudah janji tidak akan bertengkar lagi." Bu Anggraeni melerai kami.

"Maaf, Bu. Keceplosan. Habis, Doni bikin masalah." Aku membela diri lagi.

"Ya sudah. Mari kita mulai kegiatan hari ini, dari pada mendengar kalian bertengkar terus."

"Baik, Bu Guru."

"Sekarang, kalian bisa membentuk kelompok maksimum tiga orang per kelompok untuk kegiatan hari ini."

"Wahn siapa, ya, kira-kira yang menjadi anggota kelompok kita?" tanyaku sambil celingukan mencari pasangan ketiga dalam kelompokku.

"Bagaimana kalau Doni?" tanya Niken.

"Kamu itu bagaimana? Masa iya, Doni masuk ke kelompok kita?"

Beberapa saat setelah aku dan Niken berdebat, muncullah seorang siswi dari kelas X IPS 2 dan mendekati kami. Dia berkucir dua dan jerawatan. Sebenarnya, aku tidak suka dengan orang yang tidak menjaga penampilan seperti dia. Tetapi tak mengapa, yang penting bukan Doni yang menjadi anggota kelompokku.

"Bolehkah aku ikut kelompok kalian?" tanyanya.

"Boleh. Nama kamu siapa?" tanya Niken.

"Perkenalkan, namaku Irina." Irina menjabat tangan kami.

"Namaku Laura. Senang bisa bergabung denganmu." Aku memperkenalkan diri.

"Namaku Niken. Aku dan Laura dari X IPS 1."

Bu Anggraeni mulai memimpin kegiatan hari ini. Sejak pertama MOS, aku tidak melihat Pak Kepala Sekolah. Entah, beliau di mana? Aku tidak tahu. Mau tanya pada Bu Anggraeni pun malu rasanya.

"Oh, ya, murid-murid. Kali ini dan kemarin Pak Kepala Sekolah tidak bisa hadir, karena beliau tengah mengalami duka. Istri yang dicintainya meninggal, kemarin." Bu Anggraeni seperti bisa mengerti isi hatiku.

Aku tidak berani bertanya lagi. Meskipun, itu di dalam hatiku.

"Turut berduka cita," gumam Niken.

"Nanti setelah MOS, kami akan mengajak kalian melayat di rumah beliau. Apakah kalian mau?" tanya Bu Anggraeni.

"Kami mau, Bu." Kami serentak menjawab Bu Anggraeni.

"Terima kasih, murid-murid."

Kegiatan MOS sudah selesai. Saatnya kami datang ke rumah Pak Kepala Sekolah. Sampailah kami di sini. Beliau tampak begitu sedih melihat jasad yang terbungkus baju kebaya.

"Istriku, mengapakah kamu meninggalkan aku secepat ini?" tanya Pak Kepala Sekolah.

Bu Anggraeni berusaha menenangkan Pak Kepala Sekolah. Tetapi, beliau tidak mampu. Pak Kepala Sekolah malah makin kencang menangis. Semakin banyak orang yang datang melayat di sini. Mereka mengucapkan turut berduka cita pada Pak Kepala Sekolah. Namun, beliau tidak menggubris mereka.

"Kasihan Pak Kepala Sekolah. Pasti, hatinya sangat hancur." Niken berbisik padaku. 

"Iya, Niken. Pasti beliau sangat sedih hari ini." Aku menjawab Niken dengan berbisik pula.

Acara melayat sudah selesai. Kami berpamitan pada Pak Kepala Sekolah. Beliau hanya terus menangis. Padahal, jasad istri beliau sudah dimakamkan tadi. Aku jadi tidak enak hati.

"Pak Kepala Sekolah, kami turut berduka cita atas meninggalnya istri Bapak. Karena hari sudah sore, kami harus pamit dulu. Yang tabah, ya, Pak." Aku berpamitan pada Pak Kepala Sekolah.

"Terima kasih." Pak Kepala Sekolah kembali menangis.

Aku jadi membayangkan ayah ketika ditinggal ibu meninggal, pasti seperti Pak Kepala Sekolah. Hatinya hancur dan menangis terus. Apalagi, beliau menganggap ibu masih ada di beberapa waktu setelah ibu tiada.

"Kamu kenapa melamun, Laura?" Pertanyaan Niken membuyarkan lamunanku.

"Aku hanya membayangkan ayah, waktu ditinggal ibu pergi ke Rumah Bapa," jawabku.

Sampailah kami di rumah. Kali ini ayah tidak ada di rumah. Pasti, beliau berada di kantor. Untung saja, tadi kami tidak ngebut. 

"Niken, kira-kira ayah ke mana, ya?" tanyaku.

"Entahlah, Laura. Coba, kamu kirim pesan ke ayah."

Beberapa saat setelah aku mengirim pesan ke ayah, beliau menjawab. Ternyata, beliau sedang menghadiri meeting di luar kota. Ah, ayah. Masa tidak memberitahu aku dahulu? Aku pun meletakkan ponselku karena kesal pada ayah.

"Kamu kenapa, Laura?" 

"Ayah meeting di luar kota tanpa mengabari aku dahulu, Niken."

"Yah. Mungkin saja ayah tergesa-gesa, Laura." Niken berusaha menenangkan aku.

Aku kembali bersemangat, setelah mendengar penjelasan Niken. Mungkin, Niken benar. Ayah tergesa-gesa. Yang penting, aku ada yang menemani di rumah. Terima kasih, ya, Niken.

"Mungkin kamu benar, Niken."

**** SEKIAN ****


Penulis

Nama Pena : Asti Pravitasari

Nama Asli   : Eunike Asti Pravitasari


Media Sosial

✔facebook : eunike asti pravitasari


Posting Komentar

0 Komentar