IKLAN

www.jaringanpenulis.com

VINUJI LESTARI, CERPENIS "AYAHKU...." [Cerpen Keluarga]

Cerpen Keluarga


sumber gambar : google.com


“Dina, om Hardi mau pulang nih!” kata Bunda dari ruang tamu.

“Iya sebentar,” jawabku dari arah kamar dan segera bergegas keluar kamar.

“Kamu ngapain sih, di dalem kamar terus? Ada om dateng kok, enggak keluar?” tanya om Hardi padaku.

“Hehehe. Maaf ya, om. Dina lagi banyak tugas kuliah,” jawabku sambil cengengasan.

“Ya sudah kamu semangat kerjain tugas kuliahnya. Om balik dulu.” Om Hardi tersenyum padaku dan aku segera mencium tangannya sebelum beliau keluar dari rumah ini.

Setelah melihat kepergian om Hardi, aku dan Bunda kembali masuk ke dalam rumah.

“Jadi, kapan rencananya om Hardi bakal ngelamar Bunda?” 

“Katanya paling cepat bulan depan. Kenapa?”

“Enggak apa-apa. Hmm, cuman nanya aja. Aku balik ke kamar ya, Bun. Masih banyak tugas yang belom selesai,” kataku dan bunda hanya mengangguk.

Aku kembali ke dalam kamar, dan segera menyelesaikan tugas yang tadi sempat tertunda.

***

Dua Jam Kemudian...

Akhirnya, semua tugasku sudah selesai. Kulihat jam sudah jam 8 malam dan kuputuskan untuk istirahat sejenak sambil tidur-tiduran, aku kembali mengingat sebulan yang lalu saat Bunda pertama kali mengenalkan om Hardi sebagai calon ayah baru untukku.

Yaps, ayah kandungku sendiri sudah meninggal hampir 10 tahun yang lalu dan selama itu pula Bunda yang selalu menjadi Bunda sekaligus Ayah untukku. Aku ingat reaksiku saat om Hardi pertama kali datang bahwa aku tidak menyukainya karena kupikir tidak ada yang bisa menggantikan posisi Ayah di hidupku. 

Aku selalu cuek dan banyak diam saat beliau berkunjung kemari. Sebetulnya om Hardi orangnya baik, beliau juga seorang duda hanya saja anaknya sudah kerja dan aku hanya bertemu dua kali denganya sedangkan umur om Hardi sendiri beda 5 tahun dengan Bunda, lebih tepatnya tua om Hardi.

***

Flashback ah!

“Dina, kenalin ini teman Bunda. Namanya om Hardi,” kata Bunda memperkenalkan sosok laki laki yang baru kutemui.

“Dina om,” sapaku sambil mencium tangannya.

“Halo Dina, kamu bisa panggil saya om Hardi atau om saja juga boleh,” jawab om Hardi dengan tersenyum.

“Om temannya Bunda?” tanyaku.

Aku berpikir sejenak, merasa kalau aku kenal hampir semua teman Bunda. Mulai dari SD, SMP, bahkan SMA karena Bunda selalu mengajakku jika ada acara reuni sekolah.

“Di bilang teman juga boleh,” jawab om Hardi masih dengan tersenyum tapi membuatku bingung dengan jawabannya.

“Gini Dina... Sebenarnya Bunda udah kenal sama om Hardi dari dulu. Om Hardi itu tetangganya Bunda waktu masih kecil dulu,” kata Bunda.

“Lalu?”

“Kami enggak sengaja ketemu sekitar 4 bulan lalu karena saat kecil kami sudah akrab jadi bukan hal yang sulit untuk membuat kami akrab lagi.” Kali ini om Hardi yang menjelaskan.

Aku sedikit bisa mengira-ngira arah pembicaraan ini tapi aku juga tidak bisa langsung menyimpulkan sendiri.

“Kami menjadi dekat. Kami sadar kalau kami sepaham dan ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius,” kata Bunda dengan tiba-tiba Bunda sudah memegang tanganku, menggenggamnya erat.

“Jadi, maksudnya gimana ya?”

“Om mau menikah sama Bunda kamu tapi kami sadar kalau kami harus minta ijin dulu sama kamu,” jawab om Hardi membuatku sedikit terkejut.

“Dina?” panggil Bunda karena aku masih belu juga merespon.

“Maaf om, Dina belum bisa ngomong apa-apa. Menurut Dina ini terlalu tiba-tiba karena Dina baru aja kenal sama om Hardi tapi kalian langsung bilang kalau om akan jadi Ayah Dina.”

“Kami tahu kamu kaget. Apa kamu mau lebih mengenal om dulu?” tanya om Hardi.

“Hmm, Dina permisi ke kamar dulu,” kataku dan langsung pergi tanpa memperdulikan suara yang bisa kudengar; suara Bunda yang terus memanggilku.

“Menikah? Ayah baru? Aku tidak pernah memikiran selama ini jika suatu hari akan ada yang menggantikan posisi Ayah di rumah, apalagi aku baru mengenal om Hardi. Gimana kalau dia bukan orang yang baik? Ah, kata Bunda dulu mereka tetangga waktu kecil,” gerutu sembari mondar-mandir.

TOK... TOK... TOK...!!!!!

“Dina? Bisa kita bicara sebentar?” 

“Itu suara Bunda, sepertinya om Hardi sudah pulang karena tadi aku mendengar suara mesin mobil yang berjalan menjauh,” pikirku dalam diam.

“Kenapa Bun?” tanyaku sambil membuka pintu.

“Soal tadi....”

“Bunda, bisa enggak kita ngomonginnya lain kali? Aku capek pingin tidur dulu,” kataku.

Aku tahu aku egois dengan tidak mendengar penjelasan bunda tapi aku juga masih terkejut dengan kabar Bunda yang akan menikah lagi.

“Ya sudah kamu istirahat dulu aja. Kita bicara lagi besok,” kata Bunda dan aku langsung masuk kembali ke dalam kamarku.

***

Selama beberapa hari aku selalu menjauhi Bunda jika bunda ingin membahas soal om Hardi. Entah, aku selalu memberikan alasan klasik seperti alasan tugas atau keluar rumah. Jujur aku masih belum bisa menerima orang yang menurutku asing di kehidupanku.

Sesaat kemudian, aku membayangkan kalau sehari-hari aku akan bertemu om Hardi dan memanggilnya dengan sebutan Ayah. Ah, semua itu masih terasa asing dan tidak nyaman untukku!

Aku juga masih belum yakin, apakah om Hardi benar-benar orang yang terbaik untuk Bunda ku? Jadi, maksud aku tuh, bukannya om Hardi jahat hanya saja aku masih belum yakin dengan pilihan Bunda menjadikan om Hardi bagian dari keluargaku.

“Om Hardi datang lagi,” kataku saat melihat mobil yang terparir di depan rumah.

Sebenarnya aku ingin menghindar saja tapi aku sangat lelah hari ini dan ingin segera istirahat.

“Sepertinya Dina masih belum bisa nerima kamu.” Begitu suara Bunda membuatku refleks aku tidak jadi masuk dan hanya berdiri di sebelah pintu.

Rumah kami tidak memiliki jendela kaca, hanya ada jendela kayu yang bisa dibuka tutup, karena itu jika jendela tidak di buka lebar orang di dalam rumah tidak akan tau jika ada orang di luar.

“Aku ngerti, pasti dia masih kaget jika tiba-tiba ada orang yang bilang akan jadi ayah baru buat dia,” jawab om Hardi menenangkan bunda.

“Terus gimana rencana kamu?”

“Mungkin pendekatan dulu dengannya, aku menikah sama kamu bukan hanya akan jadi suami kamu tapi juga ayah buat Dina, jadi sudah seharusnya aku mengenal anakmu kan?” 

Walaupun tidak bisa melihat ekspresi om Hardi saat ini tapi bisa kubayankan om Hardi mengatakannya dengan wajah tersenyum lembut. Aku sering melihatnya saat om Hardi berbicara pada bunda.

Sebenarnya apalagi yang ingin kubuktikan? Bukankah melihat bunda bahagia sudah cukup untukku? bunda juga terlihat nyaman berada di dekat om Hardi. Seharusnya aku tidak bersikap egois dan berpikir sendiri, aku bisa langsung bertanya pada om Hardi tentang apa yang ingin ku ketahui.

“Assalamualaikum,” salam ku saat memasuki rumah.

“Waalaikumsalam,” jawab bunda dan om Hardi bersamaan.

“Gimana tadi kuliahnya Din? Lancar?” tanya om Hardi setelah aku mencium tangannya.

“Alhamdulillah lancar om,” jawabku sambil duduk di samping bunda.

“Kenapa? Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya om Hardi melihatku tidak langsung pergi ke kamar.

“Cuma mau tanya, anak om laki-laki apa perempuan?”

“Laki-laki,” jawab om Hardi.

“Umur berapa?”

“25 tahun. Sekarang dia lagi kerja di luar kota. Emangnya kenapa ya?”

“Cuma pingin tahu, aku bakalan punya adik atau kakak tapi kalo dia umur 25 berarti aku punya kakak laki laki kan,” jawabku.

Bisa kulihat saat itu bunda dan juga om Hardi kaget mendengar jawabanku tapi beberapa saat kemudian om Hardi tersenyum melihatku.

“Iya, kakak laki-laki yang tampan,” jawab om Hardi sambil tertawa.

***

DRTTttttt... dRTttttt...!

Suara HP ku bunyi tanda ada telepon masuk. Kulihat ada nama om Hardi disitu yang akan segera berganti nama menjadi ayah.

“Ada apa om?” tanyaku setelah menekan tombol hijau.

“Om tadi lupa bilang sesuatu sama kamu.”

“Oh ya? Ngomong apa?” tanyaku penasaran.

“Makasih udah mau nerima, Om di keluarga kamu. Terima kasih udah mulai terbuka sama Om dan sudah nganggep Om sebagai ayah kamu sendiri.”

“Aku yang terima kasih, Om karena sudah dateng ke kehidupan kami. Mau sabar ngadepin aku yang dulu cuek dan sabar nunggu buat Bunda,” jawabku

“Kamu bisa aja. Mulai sekarang Om minta bantuannya ya? Supaya bisa jadi suami yang baik buat Bunda kamu dan jadi Ayah yang baik buat kamu.”

Sebentar lagi aku akan punya ayah dan aku senang karena tidak mempertahankan sikap egoisku dulu yang tidak ingin menerima om Hardi di hidupku. Aku juga bahagia melihat bunda yang lebih sering tersenyum sejak om Hardi mengatakan akan mempercepat lamarannya. Ups, bukan om Hardi lagi tapi calon ayahku karena masih belum menikah dengan bunda berarti statusnya masih calon kan?

*** SEKIAN ***


Tentang Penulis Cerpen

Vinuji Lestari, saya suka membaca novel dan komik sejak SD. Mulai tertarik untuk menulis waktu SMK dan mencoba membuat karyanya sendiri. Suka menonton Film ataupun drama, membuat saya semangat untuk mewujudkan mimpi saya yaitu membuat karya tulis yang bisa diangkat menjadi sebuah film.


More Contact :

Email : vinuji.lestari@gmail.com

Instagram : Vinuji lestari

Posting Komentar

0 Komentar