IKLAN

www.jaringanpenulis.com

[CERPEN MENGHARUKAN] DIA ditulis oleh Sitio Ahiria

DIA

ditulis oleh Sitio Ahiria

sumber gambar : google.com


Deru gelombang kian terdengar

Angin kencang seakan menampar

wajahku yang tengah melamun

Tak terasa delapan tahun berlalu

menyisakan kenangan

yang sejujurnya ingin kuulang


Tawa yang membuat siapa saja menatapnya

Terdengar ringan

Namun membawa kebahagiaan

Celoteh yang begitu bising

Namun terdengar

Seperti senandung menenangkan


Di sini…

Pantai yang menyimpan sebuah kenangan

Jika diingat, delapan tahun lalu

Pantai ini masih sunyi tak seramai saat ini

Jika kita agak ke utara masih area pertanian

Ladang yang ditanami singkong


Beberapa pohon tumbuh tak beraturan sekarang, ladang itu berubah menjadi taman, rumput hijau dan beberapa kursi putih berjejer, tampak indah apalagi sambil bergandengan tangan. Ya, kejadian seperti itu terlihat indah jika menjadi adegan film atau sinetron. Kenyataannya malah membuatku risih sendiri! Kini aku memilih duduk di salah satu “Gazebo” untuk menunggu seseorang. 

"Hai, Clara!" sapanya seusai tiba.

Aku membalas sapaannya. Ia basa-basi menanyakan kabarku. Kemudian kita bercerita tentang masa lalu.

“Masa lalu,” ujarku menarik nafas.

Kutatap bola matanya yang hitam pekat seakan mengunciku. Mata yang dulu penuh ancaman kini terlihat sayu. Suaranya yang dulu menggelegar dan saat ini menjadi selembut sutera. Rambutnya terlihat agak basah namun tertata rapi. Wajah tegasnya kini nampak pucat, bahkan tangan yang hangat terasa dingin saat menjabat.

"Are you okay, Clara?" tanyanya sudah kesekian kali.

Aku mengangguk mengusap air mataku yang sudah lama merayap di pipi.

"Sekarang sudah kerja?" Dia kembali bertanya.

"Sudah,” jawabku lirih.

Dia kemudian tersenyum.

"Syukurlah, aku khawatir hidupmu tidak baik-baik saja!"

Aku tersenyum kecut membuang wajahku ke selatan, melihat pantai dengan deburan ombak yang menghantam karang. Ia menghembuskan nafasnya seolah lelah menghadapiku. 

“Clara, tidak semua yang kita inginkan pasti kesampaian. Kamu harus terima itu!” ucapnya.

Nafasku mulai sesak, kugelengkan kepala perlahan dengan tangan mengepal di pangkuan.

“Tidak semua jalan kita terus mulus!” Ia masih melanjutkan kalimatnya.

Air mataku semakin deras membasahi pipi dan kerudungku.

“Kita hidup bersamaan dengan takdir. Entah, takdir apa yang harus kita temui? Kita memang harus tetap melalui. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu jauh sebelum kejadian itu. Saat kamu marah menantangku, saat kamu menjebakku atau saat aku mengultimatummu.” Begitu ujarku dalam hening.

Di bola netraku masih terlihat jelas jika ia menggeser posisi duduknya berada di depanku. Aku semakin tergugu. Perlahan aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan berharap rasa sakit ini pun bisa kuredakan. Namun, semakin air mata terasa membasahi jemariku, rasa sakit itu semakin membawaku ke delapan tahun lalu.

***

“Ruang kelas XI IPA 2” Begitulah tulisan di papan atas pintu masuk ruang kelasku. Ramai anak-anak kelas berlari-larian dan saling lempar gulungan kertas. Aku yang baru saja masuk tiga langkah langsung terkena lemparan kertas tepat di pelipis kanan, benturannya sangat keras. Semua diam, seseorang menginterupsi untuk berhenti. Gulungan kertas itu segera aku pungut dan kubuka karena penasaran dengan isinya. Ternyata, sebuah batu kecil berada di dalamnya, pantas saja kepalaku pening. Aku melangkah mendekati kerumunan anak laki-laki sambil mengacungkan gulungan kertas berisi kerikil itu.

“Siapa yang ngelempar ini?!”  teriakku.

Seorang laki-laki maju menghampiriku, menatap ke arahku tajam.

“Aku!” Tangannya merebut kertas itu dari tanganku. 

Ia mulai tertawa kemudian melempar kertas itu ke temannya dan saling bergantian, berlari kesana kemari.

Pagi ini adalah pagi terbising sepanjang aku menjadi teman kelasnya. Kututup wajahku dengan buku cetak tebal sambil menghentakkan kaki ke lantai. Kutegakkan wajahku disaat dia berlari dari arah depan. Kini sekilas senyum terbersit di wajahku. Kakiku siap maju saat langkah kakinya berada di sampingku, dan…

BRAAAKKK!

Seisi kelas kompak terdiam. Ia meringis memegangi dagunya yang terkena kaki meja. Ia bangkit. Kemudian menendang kursi di belakangku. Kilat marah terlihat jelas ditujukan padaku. Ia mendekat memajukan wajahnya hingga berada di samping telingaku sambil berbisik, “Untung kamu perempuan, kalau bukan udah aku ajak sparing karate.”

Selesai menggertakku, ia keluar kelas. Entah, kemana hingga bel masuk berbunyi dan pelajaran usai  ia tidak terlihat kembali. Jam dinding kelas menunjukkan pukul 13.30 WIB, bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Semua orang sibuk membereskan bukunya. Kemudian berhambur ke luar kelas. Tinggal aku yang ada di sini, menghampiri tas yang teronggok di kursi tempat pemiliknya duduk. Aku mengambil tas itu sambil bergumam, ”Kasihan kamu tasnya ditinggal majikan bolos sekolah.”

Saat aku berbalik badan ternyata, dia sudah bersedekap di tengah-tengah pintu. Aku terkejut sekaligus takut. Kucoba meyakinkan diriku dalam hati.

”Jangan takut, hadapi!” Aku berbisik pada diriku sendiri.

Aku mencoba mendekat, ia hanya menatapku tanpa ekspresi. Lebam membiru di pipi kanannya jelas membuatku terkejut, rasa bersalah tiba-tiba menguasaiku. 

“Har, aku…” Aku yang biasanya lantang tiba-tiba gagap.

Dia kemudian merebut tasnya dariku. Lalu pergi begitu saja tanpa kata. Aku segera menggelengkan kepala agar tidak menduga-duga. Berbagai pertanyaan tentangnya pagi ini  terus memenuhi kepalaku.

Setibanya di area parkiran, aku melihat dia tengah menstarter motornya. Begitu pun aku segera mengenakan helm dan ikutan menstarter motor.

“Aaaarrrrrggg! Biti kenapa mogok lagi!?” kesalku. 

Aku turun dari motor. Kemudian memasang standar ganda sambil menepuk jok motor yang kunamai Biti.

“Biti, aku capek tahu enggak?” keluhku. 

“Minggir!” Ia sudah berada di sampingku.

Aku menyingkir melihat dia mengecek motorku dan mencoba menggunakan Kick Starter.

Sesaat kemudian motorku menyala, mataku berbinar.

“Wah, terima kasih, Har!” teriakku sambil menepuk lengannya.

Sesaat ia mengaduh. Kuperhatikan ia dari atas kepala sampai kaki.

“Har, kamu gak apa-apa?” tanyaku khawatir tetapi ia acuh, pergi dengan motornya dan menghilang di gerbang parkiran.

Lagi-lagi ia membuatku lebih merasa bersalah hingga hari-hari selanjutnya, bahkan ia semakin bersikap dingin kepadaku. 

***

Siang ini, sepulang sekolah, seperti biasa aku pulang mengendarai Biti kesayangan. Panas matahari membuat gerah ingin sekali segera sampai rumah dan mengguyur badan dengan air dingin. Namun, di tikungan jalan, terlihat laki-laki sedang menuntun motornya sembari sesekali ia mengumpat. Aku berhenti di sampingnya, ia menoleh sebentar. Kemudian ia kembali tetap berjalan.

“Kenapa Har?” tanyaku sambil melajukan motor pelan agar sejajar dengannya.

Ia diam masih terus berjalan. 

“Mahanta Harsa Karunasankara!” teriakku menyebutkan nama lengkapnya.

Akhirnya, ia berhenti dan menolehku dengan mimik sengit.

“Nyebelin banget sih?! Mau sampai kapan kamu diam begitu?!” teriakku padanya lagi.

Dia menstandarkan motor.

“Mogok!” teriaknya balik.

Aku ikut berhenti.

“Iya tahu mogok. Mogoknya kenapa Har?” tanyaku kesal.

“Emang kalau kamu, aku kasih tahu… Kamu mau bantu?” 

“Terus kalau aku gak mau bantu, ngapain aku tanya?”

“Kehabisan bensin.”

Aku tertawa.

“Hello, seorang Harsa kehabisan bensin?”

“Kamu mau bantuin apa ngeledek sih?” Ia  menatap tajam.

“Iya. Iya aku mau bantuin. Bentar ya, aku nyari bensin dulu.”

Aku berniat menghidupkan motorku namun tangannya menahan tanganku.

“Ngapain?” tanyaku agak ngeri.

“Aku aja yang nyari. Kaamu tunggu sini! Jagain motor aku.”

Aku turun dari motor dengan perasaan heran, kukedikkan bahuku kemudian duduk di bawah pohon pinggir jalan dekat dengan motornya. Dia berlalu, tidak sampai 5 menit ia sudah kembali dengan sebotol bensin dan corong di tangannya. Setelah mengisi bensin, motor Harsa hidup kembali. Ia menghela nafas lega.

“Terima kasih,” katanya lirih. 

Aku tersenyum.

“Sudah nih? Gak marah lagi kan?”

Sepasang matanya menatapku datar. Kuhembuskan nafas.

“Dasar Harsa… Wajah datar, tukang ramai, ngambekan. Cowok baperan?” gerutuku memandangi punggung Harsa dengan gemas sembari menghidupkan motor.

Kemudian meninggalkannya. Entah, setelah itu ekspresi apa yang dia tunjukkan pada aspal jalanan ini.

***

Pagi hari, suasana sekolahan gaduh di salah satu titik ruangan, ternyata keributan terjadi lagi. Aku menangkap sosok Harsa yang menonjok dinding dekat jendela berkali-kali setelah ribut dengan seseorang. Kepalan tanganya mengarah ke kaca jendela, spontan tanganku mencegah kepalannya.

Pecahan kaca berhamburan ke lantai, darah mengucur dari tanganku yang masih menggenggam kepalan tangan Harsa. Kini Harsa terpaku, begitu pun aku.

Sesaat kemudian aku langsung melepas tangan Harsa dan pergi ke UKS. Harsa mengikuti. Petugas UKS segera membawaku ke tempat perawatan, goresan-goresan kaca terasa perih saat dibersihkan, aku meringis.

“Kamu gila ya, Clar! Ngapain coba kamu begitu? Kamu kira kekuatanmu seperti Gatotkaca? Gimana tangan kamu kalau patah? Kalau infeksi? Atau malah bisa diamputasi!?” omelnya.

“Aduh, sakit!” teriakku sengaja agar Harsa berhenti bicara.

Dia menatapku. 

“Maaf.” Harsa mendekat.

“Aduh, gak bisa nyetir nih!?” keluhku.

“Aku antar pulang nanti.” 

Aku tersenyum.

“Beneran gak nih? Entar, aku diomelin lagi di jalan.”

“Iya, enggak! Cerewet!”

Aku tertawa sembari sembunyi-sembunyi.

Sesuai janjinya, Harsa mengantarku pulang tapi sebelum mengantarku pulang, aku meminta Harsa untuk mengantar ke Perpustakaan Daerah. Meskipun dengan wajah malas-malasan Harsa tetap mengantarku.

Setibanya di Perpustakaan Daerah aku mengajakknya masuk. Walaupun awalnya ia enggan. 

Aku memandu Harsa yang mungkin baru pertama kali datang ke sini. Kutunjukkan ruang pertemuan yang biasanya di hari-hari tertentu digunakan untuk mendongeng atau story telling khusus anak-anak. Aku juga bercerita buku apa saja yang biasanya aku pinjam. Aku menunjuk deretan komik yang berjajar rapi di dalam rak.

“Aku biasanya pinjam komik, Conan, Doraemon, Sinchan.” Aku tertawa.

“Ih, mirip anak kecil!” timpalnya.

“Meskipun begitu, hal paling aku suka komik Conan. Aku suka mengidentifikasi kejadian, suka nebak-nebak, dan dari keseluruhan kejadian di dalam komik Conan itu adalah kamu!”

“Kok aku?”

“Selalu ada judulnya… Misterius dan tak tertebak.”

Aku tertawa kembali. Lalu meninggalkan rak komik sambil berjalan menghampiri rak novel.

“Bagiku kamu juga cerita yang tak pernah habis dari waktu ke waktu. Akan terus bertambah satu cerita ke cerita lainnya.”

Harsa melihat jajaran novel, kemudian menoleh ke arahku. Dahinya mengerut, namun matanya masih menyisakan kecurigaan. Aku tertawa, mengambil satu novel. Lalu menyerahkan ke petugas untuk peminjaman.

Sejak hari itu, Harsa tak lagi mendiamkanku. Meskipun kadang aku jahili. Kami semakin dekat sampai suatu hari, aku diajak ke rumahnya. Gedung yang sederhana dan elegan berdiri kokoh di depan halaman minimalis ditumbuhi dengan pohon rambutan setinggi 2.5 meter. Dia menyuruhku duduk di kursi kayu, dia sendiri masuk ke dalam rumah. Selang 3 menit ia membawa secangkir teh dan kukis. 

“Minum nih!” tawarnya.

Aku mengangguk saja menikmati angina sepoi-sepoi. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berumur sekitar 50 tahun keluar dari rumah menghampiri kami berdua, ia menanyakan asalku dan kalimat basa-basi lainnya.  Harsa berdiri meninggalkan aku dan laki-laki itu. 

“Harsa gimana di sekolahan?” tanyanya selepas Harsa menghilang dari balik pintu.

“Harsa anak baik kok, Pak malah dia peduli sama teman-temannya. Dia juga tekun,” jawabku.

“Tekun dari mana? Saya itu bingung. Kakakknya aja bisa keterima PNS. Saat sekolah selalu juara. Lha, Harsa? Gak ada prestasinya sama sekali.”

Aku tersenyum canggung. 

“Pa, kan aku sudah bilang! Jangan banding-bandingin aku sama kakak. Aku ya aku! Kakak ya kakak! Kita punya hidup yang berbeda.” Harsa tiba-tiba menyahut dari dalam.

Ayah Harsa berdecih. Kemudian pergi entah kemana. Aku tertegun melihat perdebatan ayah dan anak di depanku. 

“Gimana? Aku gak punya masa depan, gak bisa diandelin. Kamu masih mau temenan sama aku?!” 

“Ngaco deh, Har?” Aku berdiri dari dudukku.

“Aku gak punya masa depan?!” teriaknya lagi.

“Emang kamu siapa bisa nentuin punya masa depan atau enggak? Emang kamu bakalan tahu apa yang akan terjadi kedepannya nanti? Tidak semua yang kita inginkan pasti kesampaian, kamu harus terima itu. Tidak semua jalan kita terus mulus. Kita hidup bersamaan dengan takdir. Entah, takdir apa yang harus kita temui. Kuncinya kita memang harus tetap melalui. Jangan nyerah gitu aja karena omongan orang!” Kali ini aku benar-benar marah.

“Kamu punya masa depan sendiri, begitu pun orang lain. Ayahmu seperti itu karena percaya sama kamu. Kamu harus menunjukkan ke beliau, kalau kamu bisa sukses dengan caramu. Aku pulang!” Pamitku meninggalkannya.

***

Sepulangku dari rumah Harsa, hubungan kami menjauh. Harsa seperti menghindariku. Dia lebih pendiam. Hari ini kelasku pergi ke pantai, hitung-hitung untuk refreshing sebelum ujian kenaikan kelas. Semua berhambur ke bibir pantai, saling mengguyur atau menyeret ke dalam air. Harsa hanya duduk agak jauh, mengamati teman-teman kami dengan segala kegiatannya.

Sesaat kemudian, aku diseret Mela ke dalam air. Kita saling membasahi satu sama lain dan menikmati kebersamaan ini hingga telingaku mendengar peluit dan teriakan orang-orang.

Sejenak aku melihat Harsa berlari ke arahku, menangkap tanganku. Wajah Harsa panik, sekuat tenaga menahanku agar tidak ke tengah lautan. Aku sudah tidak melihat apapun, nafasku tersengal-sengal, telingaku hanya mendengar suara air yang riuh dan suara Harsa sebagai penutup kenangan kami berdua.

“Clara, terima kasih. Sebenarnya, aku mencintaimu.” Kalimat itu benar-benar menghantam hatiku.

Deburan ombak kembali menghantam tubuhku. Kemudian mataku menutup seiring hilangnya Harsa ke tengah Lautan.

***

Saat ini, aku serasa merasakan tangan dingin itu menyentuh pipiku. Aku menggeleng karena aku tahu, bahwa yang hadir bukanlah Harsa. Ia hanyalah bayangan yang tiap kali hadir membawa luka. Kenangan yang harusnya aku ikhlaskan. Tangan itu semakin mencengkeram kuat wajahku dan suara menggelegar menyebut namaku kian memekakkan telinga. Aku berusaha menyadarkan diri hingga pundakku beberapa kali ditepuk, dan suara Mela terdengar.

Sesaat kemudian, kesadaranku kembali. Ternyata, aku tertidur di Gazebo pantai ini saat menunggu Mela, teman SMA ku sekaligus partner kerjaku. 

“Ya, ampun Clara. Kamu pucet banget. Kamu mimpi lagi?”

Mela duduk di depanku dengan panik. Aku hanya mengangkat alis. Kemudian tersenyum, mataku melihat seorang laki-laki berkacamata berdiri di belakang Mela. Sejenak Mela kemudian sadar jika ada orang di belakangnya dan mempersilahkan laki-laki itu duduk di sampingnya.

“Clar, ini Afiz. Fotografer baru di tim kita. Dia dulu kerja di Jakarta dan kebetulan kontraknya habis, jadi dia pulang ke sini.” Mela memperkenalkan Afiz kepadaku.

Aku mengangguk, mengulurkan tangan bermaksud mengajak salaman, namun ia menangkupkan tangan di depan dadanya sembari memperkenalkan diri, “Saya Afiz, Mbak.” 

Lagi-lagi aku mengangguk, memperkenalkan diri,”Saya Clara.”

Selebihnya kami berdiskusi mengenai kontrak kerja dan konsep untuk klien selanjutnya. “Deburan ombak tidak pernah hilang. Ia terus bersuara, menggema di telingaku. Harsa memang tiada, namun ceritanya masih bermuara di sudut hatiku dan tidak akan ikut tenggelam bersama waktu!” tutupku sembari meninggalkan pantai ini bersama Mela dan Afiz setelah berdiskusi membahas project baru. SEKIAN.


Biodata Penulis

Nama Pena : Sitio Ahiria

Kelahiran : Gunungkidul, 15 Januari 1997

Hobi : Berkhayal dan Menulis.


More Contact

Instagram : @Sitio_Ahiria

E-mail : Sitioocha35@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar