Siang ini cuaca sangat
panas, membakar kulit hingga lekat memanis. Terasa gerah bergairah. Tapi ada
yang lebih gerah dibandingkan cuaca siang ini. Rendi. Satu tahun belakangan ini
menghilang, tanpa kabar. Terakhir kita bertemu saat kamu datang ke rumah,
melamar. Bertemu ayah. Aku pikir kamu akan berusaha memenuhi syarat yang ayah
ajukan tapi sampai detik ini, batang hidung kamu belum juga muncul.
Saat itu ayah bilang,
“Kamu ingin melamar anak saya?”
“Iya, Om.” Kata kamu.
“Apa yang kamu punya?”
Ayah terus memburu dengan pertanyaan.
“Cinta, Om,” jawab kamu
singkat.
“Pulang! Saya menolak
lamaran kamu.” Ayah menunjuk ke arah pintu.
“Tapi, Om....”
“Kata saya pulang ya
pulang.” Ayah semakin kesal.
“Kasih saya kesempatan,
Om,” pinta kamu, berlutut.
“Fiza itu anak saya
satu-satunya. Mau kamu kasih makan apa anak saya nanti? Mau kamu kasih makan
batu, hah?” Suara ayah meninggi.
Rendi masih berlutut, di depan
ayah.
“Saya sangat mencintai
Fiza, Om. Mungkin saya tidak sempurna tapi saya yakin bisa membahagiakan Fiza.
Saya mohon, Om. Apa yang harus saya lakukan untuk mendapat restu dari Om?” kata
Rendi dengan tegas.
“Kamu harus punya rumah
sendiri, tabungan dan mobil. Karena saya tidak ingin Fiza menderita. Saya tidak
ingin Fiza hidup susah.” Rendi tercengang medengar itu tapi malah menjawab, “Siap,
Om. Saya penuhi semua syarat itu.”
Hari ini, di atas
jembatan layang, mengalir sungai. Aku berdiri. Melewati batas besi, duduk
sendiri. Keadaan cukup sepi. Aku kembali memutar memori. Saat Sarah, temanku. Memberi
kabar bahwa kamu akan menikah dengan
wanita lain. Rasanya puluhan jarum menusuk tubuh ini. Marah, benci, sedih
menjadi perpaduan utuh. Sarah mengirim foto prewedding.
Kamu memakai jas mengkilap, berpelukan dengan wanita berambut pirang.
Tersenyum, menatap satu sama lain.
“Pantas aja selama ini
aku hubungin kamu gak pernah direspon,” gerutuku.
“Kamu pengecut Ren... aku
kecewa sama kamu.” Aku mengepalkan
tangan, seiring perkataanku, “Untuk apa aku hidup? Kamu juga gak bakal balik ke
aku. Lebih baik aku mati.”
Air mata membasahi pipi.
Aku berdiri, membentangkan tangan. Siap terjun bebas, tanpa pengaman. Mungkin
kisah ini akan berakhir. Secara bersamaan, kamu bersama seorang wanita ke luar
dari mobil Ferrari California, berwarna merah. Kamu berdiri tiga meter di
belakangku. Itulah imajinasiku.
“Stop!” Rendi berteriak.
“Aku mohon jangan lakukan
itu, Fiza.”
Aku menoleh.
“Ngapain kamu di sini?
Bukannya hari ini kamu akan menikah dengan gadis itu kan?” tanyaku sembari
menyeka air mata.
“Karena pesan terakhir
kamu.”
Menarik napas, “Aku baca
semua pesan kamu. Semua keluh kesah kamu. Aku tahu apa yang kamu rasakan, Fiza.
Aku tahu....”
“Bohong! Kamu sama sekali
gak tahu perasaan aku. Buktinya, selama setahun kamu menghilang. Setiap aku
telpon, kamu reject. Aku chat, kamu read. Aku datang ke rumah, mama kamu
bilang kamu gak ada. Padahal kamu selalu update
status Whatsapp, tiap menit. Kamu foto berdua sama mama, di rumah. Apa itu
kalo bukan kebohongan? Jawab Ren!” Aku menahan tangis, namun tidak bisa.
“Dengarin aku dulu, Fiz.
Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Ini semua aku lakukan demi kebaikan kita,”
kata Rendi mencoba menyakinkan.
“Apa lagi yang harus aku
dengar. Tentang dia?” tanyaku sembari menunjuk gadis di samping kamu.
“Maksud kamu, Amel? Kamu cemburu
sama Amel? Iya, Fiz?” Rendi menoleh ke arah wanita itu, tersenyum tipis.
“Jelas aku cemburu. Kamu
memilih dia bukan aku. Kamu jahat, Ren....”
“Fiza....” panggil Rendi.
Aku menatap ke arah lain.
Masih tidak percaya semua ini. Tidak sanggup melihat Rendi bersama dia. Kalian
tampak serasi.
“Fiza... coba kamu lihat
ke belakang. Itu hasil keringat aku. Hasil setahun aku menghilang. Itu aku cari
dengan susah payah, Fiz.”
Aku melihat mobil Ferrari
California.
“Fiz... itu semua demi kamu.
Sekarang aku udah punya rumah, tabungan dan mobil. Aku berhasil, Fiz.”
“Udah salah masih juga
membela. Mau kamu itu apa sih? Belum puas buat aku kecewa?”
Tiba-tiba sepeda motor
berhenti mendadak. Hampir menabrak pembatas jalan. Laki-laki berbaju hitam,
turun. Membawa kamera sembari berkata, “Mas jadi gak nih foto endorse-nya? Saya masih ada jadwal di
tempat lain.”
Pria itu melihat jam di tangannya.
“Tunggu! Tunggu, ini apa
maksudnya ya? Endorse?”
Amel ikut berbicara,
“Emangnya Mbak Fiza gak tahu ya? Kalau Mas Rendi ini selebgram.”
Aku semakin tidak
mengerti maksud mereka sembari menggerutu, “Selebgram?”
“Iya, Mbak. Jadi sejak satu
tahun belakangan ini. Mas Rendi juga cerita. Semua ini ia lakukan demi Mbak
Fiza. Foto prewedding kemarin dan
hari ini hanya endorsement, Mbak.”
“Terus kenapa kamu gak
kasih tahu aku?” Aku kesal dengan kebohongan ini.
“Karena aku tahu kamu
bakalan cemburu. Maka dari itu aku gak pernah cerita. Biar aku menjalani proses
ini.” Rendi perlahan mendekat, menghampiri aku.
Mendengar itu, aku
melangkah melewati pembatas. Setengah berlari, menghampiri. Berhenti sejenak.
Menatap, tersenyum hangat. Kamu yang masih belum berubah. Masih sama seperti
dulu.
“Fiz....”
“Ren....” Kuputuskan
memeluk erat.
Di pundak yang selalu
menjadi sandaran ternyaman setelah keluarga, aku berbisik, “Maaf.”
“Aku yang harus minta
maaf.” Rendi melepaskan pelukan.
Kemudian mengelus pipiku,
“Fiza, Sayang....”
“Iya, Ren.”
Rendi mengeluarkan kotak
cincin, terbuat dari kaca. Terdapat cincin berlian. Rendi jongkok, seraya
berkata, “Fiza maukah kamu menjadi tempat bagi berlian ini menetap?”
Air mata bahagia tidak
bisa aku sembunyikan.
“Iya aku mau.”
Mengangguk tipis,
tersenyum manis. Saking bahagianya, Rendi memeluk tubuhku dengan erat sembari
membawaku berputar di udara.
SEKIAN
Tentang
Penulis
Gadis ini bernama lengkap
Reza Indah Pratiwi, biasa dipanggil Ica. Putri bungsu dari pasangan Sono Zahri
dan Ritima. Ia lahir 24 Septembber, 20 tahun yang lalu. Sejak kecil ia punya
hobbi membaca, menulis, bermimpi dan memperhatikam detail manusia (klasik.
Takut ketinggalan zaman). Tidak heran kacamata minus bertengger manis di
matanya.
Ketertarikannya dalam
dunia kepenulisan sudah tumbuh sejak SMP. Dan baru terbesit menghasilkan karya
ketika di SMA. Semasa sekolah ia aktif di berbagai lomba. Mulai dari menulis,
pidato dan teater. Prestasinya tidak banyak. Hanya pernah menang lomba menulis
drama tingkat sekolah. Juara harapan dua membaca puisi, juara tiga teater
monolog tingkat kota.
Dan sekarang ia sedang
menghasilkan anak baru bernama ‘Veronika Jingga’ yang akan PO akhir Mei ini.
Penulis ingin terus melebarkan sayapnya di dunia kepenulisan, bahkan perfilman.
Meskipun terlahir dari keluarga sederhana, di sudut perbatasan kota Bengkulu.
Ia berharap bisa menjadi orang bermanfaat, dan terus menghasilkan karya-karya.
0 Komentar