CERPEN PERTEMUAN SINGKAT
Maya menyesali keteledorannya yang meninggalkan ponsel di
toilet lantai sembilan seusai kelas mata kuliah terakhir. Jarum jam kini
menunjuk pukul lima lewat tiga puluh menit. Semoga saja pintu gedung itu belum
dikunci, begitu harapan Maya. Biasanya, ada mahasiswa tari yang berlatih hingga
malam, membuat Maya sedikit tenang meski matahari kini perlahan lengser dari
singgasananya.
Senyum semringah sontak menghiasi wajah perempuan itu
kala mendapati gedungnya masih terbuka, buru-buru ia berlari ke dalam lift dan
menekan tombol nomor sembilan.
“Tunggu!” teriak seseorang yang refleks membuat Maya
menahan pintu lift.
“Lho, Dewi?!” Maya memekik kala menyadari siapa orang yang
kini ikut masuk dan berdiri di sebelahnya. Teman satu angkatan yang cukup dekat
dengan Maya.
“Kok kamu belum pulang?” tanyanya.
Melirik sekilas, sebaris senyum tersungging di sudut
bibir orang yang dipanggil Dewi.
“Tugas buat besok ketinggalan di kelas tadi,” jawabnya.
Senang ada teman senasib, Maya berucap syukur dalam hati.
Segera ia melepas jarinya dari tombol lift, yang entah kenapa pintunya tak
kunjung tertutup meski telah lewat beberapa detik. Bahu kedua orang itu kontan
menjengit kala bunyi peringatan justru bergaung bersamaan keterangan full
sebagai tanda beratnya telah melebihi kapasitas.
Perasaan ganjil mulai menggerayangi sudut hati Maya,
tangannya kini mengusap-ngusap kepala bagian belakang sesaat embusan angin menyisipkan
rasa dingin.
“Ah, rusak lagi, ya?” gumam Dewi bermonolog.
“O-oh?” Maya menyahut tanpa bisa menyembunyikan getar
dari suaranya.
“I-ini emang sering begini?”
“Kadang-kadang,” tanggap Dewi santai, ia pun menoleh.
“Mau naik tangga aja?” tawarnya.
Ibarat kata yang tertinggal bukan ponsel, Maya pasti enggan
menerima ajakan Dewi barusan.
Sepanjang mereka berjalan menyusuri setiap anak tangga,
Maya tiada henti merapatkan diri sambil memegangi tangan Dewi. Manik legam
perempuan itu terus-menerus bergerilya ke sekitar, melayangkan tatapan penuh
rasa waswas. Sedikit saja ada suara yang berasal bukan dari mereka, Maya sontak
terlonjak sambil berteriak kelimpungan.
Tiba di lantai sembilan, Maya meneguk ludahnya mendapati
lampu-lampu di sepanjang koridor sudah dipadamkan, hanya tersisa sinar matahari
yang tersorot redup dari kaca-kaca besar di gedung itu.
“Yaudah, kamu ambil aja handphone kamu.”
Dewi lebih dulu memecah keheningan.
“Sekalian aku ngambil tugas yang ketinggalan.”
Untung posisi kelas yang terakhir dengan toilet tak
begitu jauh, malah hampir berdepanan, cuma terselang sepasang pintu lift. Maya
tergegas masuk ke toilet lalu keluar lagi setelah berhasil mendapatkan barang
yang ia cari. Kecepatan degup jantungnya kini mungkin persis orang yang baru selesai
berlari.
Segera menyalakan senter di ponsel, kening Maya berkerut
kala mendapati notifikasi dari salah satu aplikasi messenger.
Dewi: May,
kamu di mana?
Dewi: Kok tiba-tiba ngilang sih?
Pesan itu sampai kira-kira semenit yang lalu, padahal
sejak tadi Dewi terlihat tenang-tenang saja, ternyata dia ketakutan juga seperti
Maya. Agak menahan tawa, Maya membalas pesan itu seraya kaki-kakinya terus
melangkah maju.
Ting!
Fokus perempuan itu teralihkan pada dentingan di sisi
kanannya, yang berasal dari pintu lift yang terbuka. Sebagian koridor seketika
diterangi sinar lampu yang memancar dari dalam sana, sementara Maya mereka-reka
apa lift ini sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak.
Maya: Aku di depan
lift nih
Maya: Kamu udah ketemu tugas buat besok?
Sebenarnya, Maya bisa melihat figur Dewi dari kaca
jendela, orang itu tampak tengah mencari-cari sesuatu di antara susunan bangku
yang agak berantakan. Posisinya membelakangi Maya, senandung kecil tak sengaja
lolos sembari Maya menyandarkan diri di tembok samping pintu lift hingga datang
dua pesan baru yang seratus persen sukses melunturkan ketenangan perempuan itu.
Dewi: Hah?
Maksudnya? Lift mana?
Dewi:
Tugas apaan juga lagi?
Maya tertegun, sekali lagi ia menengok ke ruang kelas di
mana Dewi masih terlihat di dalam sana.
Dewi: Mayaaa
Dewi: Aku tuh sekarang lagi di halte, buruan siniii
Genggaman Maya pada ponsel mulai kehilangan kekuatannya,
getaran tubuh disertai irama detak jantung yang berpacu cepat mengundang
berbagai praduga negatif dalam kepala. Kegelisahan kontan menguasai seluruh
perasaan Maya yang susah payah mengetik sederet pesan balasan.
Maya: Wi, kamu
jangan bercanda
Maya: Nggak lucu tau
Maya: Kamu kan lagi sama aku sekarang
Sekujur tubuh perempuan itu bergidik ngeri kala mendapati
Dewi yang di dalam kelas sana kini melambaikan tangan ke arahnya. Detik di mana
ia menyadari, bahwa Dewi sama sekali tidak memegang ponsel saat itu.
Dewi: Kamu
ngomong apa sih
Dewi: Aku beneran
ada di halte ya ini
Dewi: Heh, Maya! Kamu lagi siapa?!
Serentetan pesan lain terus berdatangan, sementara tangan
Maya kini bergetar semakin hebat sampai-sampai sulit dikendalikan. Kakinya
seakan terpaku sesaat Dewi di dalam kelas sana mulai berjalan keluar, mendekat
ke tempatnya, bersamaan dengan satu panggilan video masuk yang diterima ponsel
Maya.
Dewi is calling…
Dengan segenap kekuatan tersisa, Maya menggeser tombol
berwarna hijau, yang lantas membuat hatinya terperanjat begitu wajah Dewi terpampang
jelas dalam layar. Buru-buru mengecilkan volume suara, urat-urat di leher Maya
kontan menegang ketika seseorang di dalam kelas sana sudah tiba di hadapannya.
“Buku aku kayaknya bukan ketinggalan di sini,” terang Dewi
dengan tatapan yang kali ini menyalurkan kejanggalan.
“Ah, lift-nya udah bener lagi, ya. Kita turun aja kalau
gitu.”
Enggan mengikuti langkah orang itu yang kini sudah
berdiri di tengah-tengah lift, Maya mati-matian mengembangkan senyum paksa sambil
berkata, “A-aku turun lewat t-tangga aja d-deh.”
“Oh?” tanggap Dewi kalem. “Yaudah, aku juga
lewat tangga aj “
“ jangan!”
Maya refleks memekik.
“K-kamu pake lift aja, a-aku mau olahraga dan merenungkan
s-sesuatu.”
Sejenak, ada hening yang terasa begitu berat.
“K-kalau gitu, a-aku d-duluan, ya!”
Semua terjadi begitu cepat. Tentang Maya yang berbalik
dan mulai beranjak pergi, tentang langkahnya yang seketika tertahan oleh
sesuatu, dan tentang pandangan Maya yang bergulir dari genggaman seseorang di pergelangan
tangannya hingga berakhir pada sosok si pemilik tangan itu.
Disusul bunyi peringatan tanda beban melebihi kapasitas
juga lampu lift yang berkedip-kedip temaram, kesadaran Maya seolah menghilang
kala atensinya jatuh pada manik hitam pekat milik seseorang di dalam lift. Ada
seringai tipis di ujung bibir orang itu seiring tubuh Maya ditarik masuk sebelum
kemudian pintunya tertutup.
Sekilas, orang itu berbisik;
“Kamu... Kamu udah tahu, ya?”
***
BIODATA
PENULIS:
Hafizhotun Nisa, makhluk tukang ngayal yang berusaha
produktif dengan menulis minimal seribu kata sehari mulai awal Novermber 2019.
Tinggal di daerah Depok Baru dan biasa dihubungi melalui alamat surel hafizhotunnisa@gmail.com. Media sosial yang aktif saat ini hanya Instagram dengan
nama akun hafizhotunnisa.
0 Komentar