CERPEN INSPIRATIF
Lebih
Baik Bersyukur Bukan Insecure
Oleh
: Rahma Pangestuti
Namaku
Nimas Ajeng Saraswati, panggil saja aku Ajeng. Kini aku duduk di bangku kelas
12. Bagiku duduk di bangku kelas 12 adalah hari-hari yang mendebarkan. Sebuah
masa untuk menentukan masa depan dan masa pencarian jati diri.
Hari
ini kukayuh sepeda menelusuri jalanan kota, menembus kemacetan. Sepeda, hanya
ini yang kumiliki. Ia adalah teman yang setia menemani perjalananku selama
hampir tiga tahun ini.
Sesampainya
di sekolah aku memarkirkan sepedaku, terlihat Dita turun dari mobil sedan mewah
dan melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman. Selang
beberapa menit Dita menghampiriku.
“Selamat
Pagi Ajeng” ucapnya.
“Pagi...
Kenapa Dita sumringah banget wajahnya?” batinku sembari melihat raut wajah Dita
yang begitu bahagia.
“Jelas
dong, Jeng piagam Olimpiade MIPA kita sudah keluar!” Aku tertegun mendengar
pernyataan Dita.
Piagam
Olimpiade MIPA, benda berharga yang selama ini kami tunggu-tunggu. Sebagai
salah satu bekal untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri tapi bagiku ia
hanya akan menjadi kenangan karena untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi hanya mimpi bagiku.
“Kamu
kenapa Jeng ?” tanya Dita penasaran.
“Enggak
apa-apa kok, Dit. Syukurlah kalau piagamnya sudah keluar!” Aku mencoba mengurai
senyum meskipun terasa getir.
Rasanya
aku ingin seperti Dita, hidup berkecukupan. Segala fasilitas terpenuhi, bebas
menentukan jalan hidupnya dan memiliki jalan yang mudah untuk meraih impian.
Aku merasa kata mudah tak pernah ada dalam kamus hidupku segala yang ingin kucapai
selalu bertemu dengan kata sulit.
Aku
yang lahir dari keluarga dengan ekonomi jauh dari kata cukup, harus bisa
memupuk semangat dalam diri yang terkadang luntur ketika berpadu dengan keadaan
yang ada. Keadaan membuatku begitu jauh
untuk meraih mimpi. Semua terasa sulit bagiku karena semua sudah semakin
berkembang tapi aku merasa jauh tertinggal.
Jujur
saja berjalan berdampingan dengan Dita terkadang membuatku minder dan insecure. Bagaimana tidak, Dita memiliki
segalanya cantik.
****
Malam
telah tiba, aku melihat Bapak-Ibu juga Kakakku duduk bersantai di teras rumah sedangkan
aku yang ada di kamar masih memikirkan tentang mimpiku. Setelah lulus aku tak
tahu akan kubawa kemana hidupku. Aku melihat jas praktek berwarna putih yang
tergantung di almari. Sejak kecil aku bercita-cita menjadi dokter. Dulu aku selalu
berpikir bahwa aku bisa meraih cita dan mewujudkan mimpi menjadi nyata tapi
kini aku harus berdamai dengan realita. Aku memberanikan diri untuk berbicara
dengan kedua orang tuaku perihal keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi.
“Kuliah
jurusan kedokteran? Mimpi itu jangan tinggi-tinggi Jeng, kalau jatuh sakit?!”
Aku
sudah menduga reaksi Kakakku pasti seperti ini.
“Kakak
salah, Ajeng enggak akan sakit kalau jatuh. Seperti kata Bung Karno, ‘Bermimpilah
setinggi langit karena jika kamu jatuh, kamu akan jatuh diantara
bintang-bintang.’ Hmm,” jawabku mengutip kata mutiara dari Bung Karno.
“Nak,
bukannya Bapak sama Ibu tidak mendukung mimpi kamu tapi kamu tahu kan kondisi
Bapak dan Ibu seperti apa?” Pertanyaan Ibu cukup menjadi jawaban bagiku.
Ya,
aku tahu kondisi kedua orang tuaku tak memungkinkan untuk membiayai kuliahku. Keadaan
ini membuatku merasa minder ketika harus bertemu dengan teman-temanku di
sekolah, aalagi belakangan ini mereka sibuk mempersiapkan segala persyaratan
untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Aku hanya bisa diam ketika mereka
bercerita tentang masa depan, seolah-olah aku ini orang yang tak memiliki masa
depan, apalagi ketika mereka bertanya, “Ajeng, kamu mau lanjut kemana?” Pertanyaan
itu seperti menamparku, membuat hatiku tercekat dan aku hanya membisu ketika
pertanyaan itu diberikan kepadaku.
****
Hari
ini Bu Ambar memintaku untuk menemuinya di ruang guru setelah jam pulang
sekolah.
“Ajeng,
kenapa kamu tidak melengkapi persyaratan yang Ibu minta?” tanya Bu Ambar.
“Ehm
itu Bu... Saya...” Aku gugup tak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa
Ajeng ?”
“Saya
tidak akan melanjutkan pendidikan, Bu.” Aku mencoba mengumpulkan tenaga untuk
menjawab.
“Kenapa?
Bukannya kamu dulu begitu semangat untuk menjadi dokter?!?”
“Iya,
tapi rasanya keadaan tidak mendukung, Bu dan tidak memungkinkan saya untuk
melanjutkan pendidikan.”
“Ajeng,
tidak ada yang tidak mungkin. Semua itu mungkin terjadi selagi kamu berusaha
yang tidak mungkin terjadi jika kamu tidak berusaha untuk meraih mimpi itu,” jelas
Bu Ambar.
“Iya,
Bu”
“Kamu
kumpulkan semua persyaratan yang Ibu minta ya? Ibu akan bantu kamu untuk
mendapatkan beasiswa. Prestasi akademik kamu itu bagus Ajeng, apalagi kamu juga
siswa berprestasi di sekolah. Sayang sekali, kalau semua ini kamu biarkan
begitu saja.”
“Baik,
Bu. Terima kasih.”
Setelah
mendengar penjelasan Bu Ambar akupun berpamitan dan keluar dari ruangan beliau.
Pandanganku tertuju pada Dita yang berlari sembari mengusap air matanya. Aku
mencoba mengikuti langkah kakinya melewati koridor sekolah, tapi aku tak mampu
mengejarnya.
Aku
memutuskan untuk kembali ke kelas bertanya pada teman-temanku, “Mengapa Dita
menangis? Kemana dia pergi? Tapi tak ada yang tahu.”
Sejenak
aku mencarinya dan mereka bilang, “Setelah menerima telepon Dita berlari
meninggalkan ruang kelas.” Aku khawatir dengannya. Meskipun aku tidak terlalu
akrab dengan Dita tapi dia cukup baik denganku.
Setelah
berkeliling sekolah mencari Dita, aku menangkap sosok Dita duduk di depan halte
sekolah. Bergegas aku menghampirinya dan kutanyakan apa yang terjadi hingga
membuat dirinya menangis terisak. Ia memelukku dan memintaku untuk membawanya
pergi. Aku bingung dengan sikap Dita tapi sepertinya percuma aku tanya mengapa
karena dia tidak akan menjawab. Aku memutuskan membawa Dita ke rumahku.
****
Seperti
biasa sesampainya di rumah, Bapak-Ibu dan Kakak menyambut ke pulanganku. Aku
memperkenalkan Dita pada orang tuaku. Dita adalah orang pertama yang aku ajak
ke rumah. Sebenarnya aku ragu mengajaknya karena aku takut Dita tidak nyaman
tapi justru sebaliknya Dita terlihat bahagia, apalagi ketika menyantap masakan
Ibu, dia begitu lahap. Dita begitu akrab dengan Bapak dan Ibu, ia bercerita
juga berbagi canda tawa seperti tak ada celah diantara kami.
Hari
mulai petang Bapak memintaku untuk mengantar Dita pulang, mengingat Dita sudah
seharian di rumahku pasti orang tuanya merasa khawatir tapi Dita enggan pulang
ia ingin bermalam di rumahku. Aku tak bisa menolak permintaan Dita. Aku pun
mengiyakan permintaan Dita dengan syarat ia harus menghubungi kedua orang
tuanya.
Malam
ini aku tak sendiri di kamar karena ada Dita disampingku.
“Ajeng,
enak jadi kamu punya keluarga yang harmonis dan hangat. Orang tua yang
menyambut kamu ketika pulang sekolah, Kakak yang baik, kamu juga bisa makan
masakan Ibu setiap hari. Bahagia banget ya jadi kamu?” ucapan Dita membuatku
terdiam beberapa saat.
“Kamu
juga enak Dita, orang tua kamu juga harmonis dan sayang sama kamu. Kamu sadar
enggak sih, Dit?! Semua yang kamu inginkan pasti diwujudkan sama Papah dan
Mamah kamu. Semua fasilitas yang kamu butuhkan juga disediakan,” jawabku.
“Kamu
salah Jeng. Ya, memang semua keinginan dan kebutuhanku terpenuhi tapi aku
enggak pernah punya keluarga yang hangat. Papah-Mamah selalu sibuk dengan
urusan kantor sekalinya ketemu pasti berantem dan puncaknya tadi siang mereka
memutuskan untuk berpisah,” jelas Dita.
Ironi,
itu yang kurasa. Selama ini aku melihat kehidupan Dita begitu sempurna tapi
semua yang kulihat tak sepenuhnya benar. Dita menangis menceritakan kehidupan
keluarganya dan disaat itulah aku merasa bersyukur karena Tuhan memberiku
keluarga yang utuh dan harmonis; sesuatu hal yang selama ini tak kusadari. Aku
justru terus mengeluh dan menggerutu dengan keadaan yang ada, cerita Dita malam
ini cukup menampar dan menyadarkanku bahwa keluarga adalah harta berharga yang
kumiliki. Sejenak aku mencoba menenangkan Dita, memberi semangat dan
mendoakannya untuk bersabar melewati masalah yang ia hadapi.
****
Keesokan
harinya aku dan Dita berangkat ke sekolah bersama. Dita langsung menuju kelas sedangkan
aku harus menemui Bu Ambar terlebih dahulu. Pagi itu hatiku benar-benar bahagia
ketika mendengar kabar dari Bu Ambar yang menjelaskan bahwa ada tiga kampus
besar yang bersedia memberiku kesempatan untuk melanjutkan kuliah dan memberiku
beasiswa. Aku tak mampu berkata-kata.
“Sekarang
kamu tinggal pilih Dita, kamu mau masuk kampus mana?”
“Baik,
Bu. Saya akan memikirkan kampus mana yang akan saya pilih.”
“Iya
tapi kamu juga harus tetap belajar untuk persiapan ujian nasional. Jangan
sampai kamu terlena dengan kabar yang baru saja Ibu sampaikan!”
“Baik,
Bu. Terima kasih.”
Ini
benar-benar seperti mimpi. Tentu saja mimpi yang menjadi nyata. Rasanya apa
yang aku impikan perlahan mampu aku wujudkan. Aku tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan yang ada. Aku tidak ingin berpasrah dengan keadaan justru aku ingin
merubah keadaan. Bu Ambar benar, “Tidak ada yang tidak mungkin selagi kita
berusaha.”
Beberapa
hal yang hadir dalam hidupku telah mengajarkanku bahwa apa yang terlihat
sempurna tidak selalu sempurna karena memang tidak ada hal yang sempurna di
dunia ini. Lebih baik bersyukur bukan insecure
karena bersyukur adalah kunci utama menjalani hidup. Tentang mimpi kumiliki
dan aku akan terus memperjuangkan sembari berkata dalam hati, “Jangan pernah
menyerah karena menyerah bukan sebuah pilihan dan berhenti bukan suatu tujuan!”
SELESAI
Biodata Penulis
Rahma Pangestuti, lahir di Pati, Jawa Tengah.
Menyukai dunia kepenulisan sejak dini. Menulis cerpen dan puisi yang tergabung
di beberapa buku antalogi bersama. Mari berteman dengan Rahma di Instagram
@rachma_75. Temukan karya Rahma di Wattpad (resty_rachma) dan Kwikku
(restyrachma75).
0 Komentar