IKLAN

www.jaringanpenulis.com

[Cerpen Inspiratif] Lebih Baik Bersyukur Bukan Insecure ditulis oleh Rahma Pangestuti

 CERPEN INSPIRATIF


Lebih Baik Bersyukur Bukan Insecure

Oleh : Rahma Pangestuti

 

sumber gambar : google

Namaku Nimas Ajeng Saraswati, panggil saja aku Ajeng. Kini aku duduk di bangku kelas 12. Bagiku duduk di bangku kelas 12 adalah hari-hari yang mendebarkan. Sebuah masa untuk menentukan masa depan dan masa pencarian jati diri.

Hari ini kukayuh sepeda menelusuri jalanan kota, menembus kemacetan. Sepeda, hanya ini yang kumiliki. Ia adalah teman yang setia menemani perjalananku selama hampir tiga tahun ini.

Sesampainya di sekolah aku memarkirkan sepedaku, terlihat Dita turun dari mobil sedan mewah dan melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman. Selang beberapa menit Dita menghampiriku.

“Selamat Pagi Ajeng” ucapnya.

“Pagi... Kenapa Dita sumringah banget wajahnya?” batinku sembari melihat raut wajah Dita yang begitu bahagia.

“Jelas dong, Jeng piagam Olimpiade MIPA kita sudah keluar!” Aku tertegun mendengar pernyataan Dita.

Piagam Olimpiade MIPA, benda berharga yang selama ini kami tunggu-tunggu. Sebagai salah satu bekal untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri tapi bagiku ia hanya akan menjadi kenangan karena untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi hanya mimpi bagiku.

“Kamu kenapa Jeng ?” tanya Dita penasaran.

“Enggak apa-apa kok, Dit. Syukurlah kalau piagamnya sudah keluar!” Aku mencoba mengurai senyum meskipun terasa getir.

Rasanya aku ingin seperti Dita, hidup berkecukupan. Segala fasilitas terpenuhi, bebas menentukan jalan hidupnya dan memiliki jalan yang mudah untuk meraih impian. Aku merasa kata mudah tak pernah ada dalam kamus hidupku segala yang ingin kucapai selalu bertemu dengan kata sulit.

Aku yang lahir dari keluarga dengan ekonomi jauh dari kata cukup, harus bisa memupuk semangat dalam diri yang terkadang luntur ketika berpadu dengan keadaan yang ada.  Keadaan membuatku begitu jauh untuk meraih mimpi. Semua terasa sulit bagiku karena semua sudah semakin berkembang tapi aku merasa jauh tertinggal.

Jujur saja berjalan berdampingan dengan Dita terkadang membuatku minder dan insecure. Bagaimana tidak, Dita memiliki segalanya cantik.

****

Malam telah tiba, aku melihat Bapak-Ibu juga Kakakku duduk bersantai di teras rumah sedangkan aku yang ada di kamar masih memikirkan tentang mimpiku. Setelah lulus aku tak tahu akan kubawa kemana hidupku. Aku melihat jas praktek berwarna putih yang tergantung di almari. Sejak kecil aku bercita-cita menjadi dokter. Dulu aku selalu berpikir bahwa aku bisa meraih cita dan mewujudkan mimpi menjadi nyata tapi kini aku harus berdamai dengan realita. Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan kedua orang tuaku perihal keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

“Kuliah jurusan kedokteran? Mimpi itu jangan tinggi-tinggi Jeng, kalau jatuh sakit?!”

Aku sudah menduga reaksi Kakakku pasti seperti ini.

“Kakak salah, Ajeng enggak akan sakit kalau jatuh. Seperti kata Bung Karno, ‘Bermimpilah setinggi langit karena jika kamu jatuh, kamu akan jatuh diantara bintang-bintang.’ Hmm,” jawabku mengutip kata mutiara dari Bung Karno.

“Nak, bukannya Bapak sama Ibu tidak mendukung mimpi kamu tapi kamu tahu kan kondisi Bapak dan Ibu seperti apa?” Pertanyaan Ibu cukup menjadi jawaban bagiku.  

Ya, aku tahu kondisi kedua orang tuaku tak memungkinkan untuk membiayai kuliahku. Keadaan ini membuatku merasa minder ketika harus bertemu dengan teman-temanku di sekolah, aalagi belakangan ini mereka sibuk mempersiapkan segala persyaratan untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Aku hanya bisa diam ketika mereka bercerita tentang masa depan, seolah-olah aku ini orang yang tak memiliki masa depan, apalagi ketika mereka bertanya, “Ajeng, kamu mau lanjut kemana?” Pertanyaan itu seperti menamparku, membuat hatiku tercekat dan aku hanya membisu ketika pertanyaan itu diberikan kepadaku.

****

Hari ini Bu Ambar memintaku untuk menemuinya di ruang guru setelah jam pulang sekolah.

“Ajeng, kenapa kamu tidak melengkapi persyaratan yang Ibu minta?” tanya Bu Ambar.

“Ehm itu Bu... Saya...” Aku gugup tak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa Ajeng ?”

“Saya tidak akan melanjutkan pendidikan, Bu.” Aku mencoba mengumpulkan tenaga untuk menjawab.

“Kenapa? Bukannya kamu dulu begitu semangat untuk menjadi dokter?!?”

“Iya, tapi rasanya keadaan tidak mendukung, Bu dan tidak memungkinkan saya untuk melanjutkan pendidikan.”

“Ajeng, tidak ada yang tidak mungkin. Semua itu mungkin terjadi selagi kamu berusaha yang tidak mungkin terjadi jika kamu tidak berusaha untuk meraih mimpi itu,” jelas Bu Ambar.

“Iya, Bu”

“Kamu kumpulkan semua persyaratan yang Ibu minta ya? Ibu akan bantu kamu untuk mendapatkan beasiswa. Prestasi akademik kamu itu bagus Ajeng, apalagi kamu juga siswa berprestasi di sekolah. Sayang sekali, kalau semua ini kamu biarkan begitu saja.”

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Setelah mendengar penjelasan Bu Ambar akupun berpamitan dan keluar dari ruangan beliau. Pandanganku tertuju pada Dita yang berlari sembari mengusap air matanya. Aku mencoba mengikuti langkah kakinya melewati koridor sekolah, tapi aku tak mampu mengejarnya.

Aku memutuskan untuk kembali ke kelas bertanya pada teman-temanku, “Mengapa Dita menangis? Kemana dia pergi? Tapi tak ada yang tahu.”

Sejenak aku mencarinya dan mereka bilang, “Setelah menerima telepon Dita berlari meninggalkan ruang kelas.” Aku khawatir dengannya. Meskipun aku tidak terlalu akrab dengan Dita tapi dia cukup baik denganku.

Setelah berkeliling sekolah mencari Dita, aku menangkap sosok Dita duduk di depan halte sekolah. Bergegas aku menghampirinya dan kutanyakan apa yang terjadi hingga membuat dirinya menangis terisak. Ia memelukku dan memintaku untuk membawanya pergi. Aku bingung dengan sikap Dita tapi sepertinya percuma aku tanya mengapa karena dia tidak akan menjawab. Aku memutuskan membawa Dita ke rumahku.

****

Seperti biasa sesampainya di rumah, Bapak-Ibu dan Kakak menyambut ke pulanganku. Aku memperkenalkan Dita pada orang tuaku. Dita adalah orang pertama yang aku ajak ke rumah. Sebenarnya aku ragu mengajaknya karena aku takut Dita tidak nyaman tapi justru sebaliknya Dita terlihat bahagia, apalagi ketika menyantap masakan Ibu, dia begitu lahap. Dita begitu akrab dengan Bapak dan Ibu, ia bercerita juga berbagi canda tawa seperti tak ada celah diantara kami.

Hari mulai petang Bapak memintaku untuk mengantar Dita pulang, mengingat Dita sudah seharian di rumahku pasti orang tuanya merasa khawatir tapi Dita enggan pulang ia ingin bermalam di rumahku. Aku tak bisa menolak permintaan Dita. Aku pun mengiyakan permintaan Dita dengan syarat ia harus menghubungi kedua orang tuanya.

Malam ini aku tak sendiri di kamar karena ada Dita disampingku.

“Ajeng, enak jadi kamu punya keluarga yang harmonis dan hangat. Orang tua yang menyambut kamu ketika pulang sekolah, Kakak yang baik, kamu juga bisa makan masakan Ibu setiap hari. Bahagia banget ya jadi kamu?” ucapan Dita membuatku terdiam beberapa saat.

“Kamu juga enak Dita, orang tua kamu juga harmonis dan sayang sama kamu. Kamu sadar enggak sih, Dit?! Semua yang kamu inginkan pasti diwujudkan sama Papah dan Mamah kamu. Semua fasilitas yang kamu butuhkan juga disediakan,” jawabku.

“Kamu salah Jeng. Ya, memang semua keinginan dan kebutuhanku terpenuhi tapi aku enggak pernah punya keluarga yang hangat. Papah-Mamah selalu sibuk dengan urusan kantor sekalinya ketemu pasti berantem dan puncaknya tadi siang mereka memutuskan untuk berpisah,” jelas Dita.

Ironi, itu yang kurasa. Selama ini aku melihat kehidupan Dita begitu sempurna tapi semua yang kulihat tak sepenuhnya benar. Dita menangis menceritakan kehidupan keluarganya dan disaat itulah aku merasa bersyukur karena Tuhan memberiku keluarga yang utuh dan harmonis; sesuatu hal yang selama ini tak kusadari. Aku justru terus mengeluh dan menggerutu dengan keadaan yang ada, cerita Dita malam ini cukup menampar dan menyadarkanku bahwa keluarga adalah harta berharga yang kumiliki. Sejenak aku mencoba menenangkan Dita, memberi semangat dan mendoakannya untuk bersabar melewati masalah yang ia hadapi.

****

Keesokan harinya aku dan Dita berangkat ke sekolah bersama. Dita langsung menuju kelas sedangkan aku harus menemui Bu Ambar terlebih dahulu. Pagi itu hatiku benar-benar bahagia ketika mendengar kabar dari Bu Ambar yang menjelaskan bahwa ada tiga kampus besar yang bersedia memberiku kesempatan untuk melanjutkan kuliah dan memberiku beasiswa. Aku tak mampu berkata-kata.

“Sekarang kamu tinggal pilih Dita, kamu mau masuk kampus mana?”

“Baik, Bu. Saya akan memikirkan kampus mana yang akan saya pilih.”

“Iya tapi kamu juga harus tetap belajar untuk persiapan ujian nasional. Jangan sampai kamu terlena dengan kabar yang baru saja Ibu sampaikan!”

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Ini benar-benar seperti mimpi. Tentu saja mimpi yang menjadi nyata. Rasanya apa yang aku impikan perlahan mampu aku wujudkan. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Aku tidak ingin berpasrah dengan keadaan justru aku ingin merubah keadaan. Bu Ambar benar, “Tidak ada yang tidak mungkin selagi kita berusaha.”

Beberapa hal yang hadir dalam hidupku telah mengajarkanku bahwa apa yang terlihat sempurna tidak selalu sempurna karena memang tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Lebih baik bersyukur bukan insecure karena bersyukur adalah kunci utama menjalani hidup. Tentang mimpi kumiliki dan aku akan terus memperjuangkan sembari berkata dalam hati, “Jangan pernah menyerah karena menyerah bukan sebuah pilihan dan berhenti bukan suatu tujuan!”

SELESAI


Biodata Penulis

Rahma Pangestuti, lahir di Pati, Jawa Tengah. Menyukai dunia kepenulisan sejak dini. Menulis cerpen dan puisi yang tergabung di beberapa buku antalogi bersama. Mari berteman dengan Rahma di Instagram @rachma_75. Temukan karya Rahma di Wattpad (resty_rachma) dan Kwikku (restyrachma75).

Posting Komentar

0 Komentar