IKLAN

www.jaringanpenulis.com

[CERPEN] BINTANG DAN KEJORA karya Putri Anggraeni

Bintang dan Kejora

Ditulis Oleh: Putri Anggraeni


sumber gambar : google.com


Aku melihatnya bermain cello dari balik kaca jendela. Harmoni indah yang tercipta menggetarkan malam kelamku. Bahkan, burung hantu yang biasa bersuara dan membuat adik perempuanku menangis ketakutan memilih pergi. Aku sering melihatnya menyapa ramah para tetangga yang mulai beraktivitas di pagi hari. Ia berjalan ke sekolah dan aku selalu tak acuh melewatinya dengan sepedaku. Kejora itulah namamu dan aku ialah nama yang dipilih jadi milikmu, Bintang.

“Aku tak mengerti kenapa kamu sangat istimewa? Tiap tingkah sepelemu tampak luar biasa. Aku pengagum rahasiamu yang gemar menatap dari jauh. Lalu, di salah satu malam gelap yang menaungi pinggiran kota Jakarta, Tuhan memaksaku memberanikan diri untuk menyapamu,” ujar Kejora membaca suratku.

Oops! Semua gara-gara Laila, adik kecilku ini merengek minta ditemani ke pasar malam. Sialnya, kami terpisah. Cukup lama aku celingukan mencari di keramaian tanpa hasil sampai akhirnya bola mataku menangkap Laila bersama sosoknya beserta secarik kertas milikku yang berisi tulisan kekagumanku kepadanya.

“Hai, kenapa kamu di sini?” tanyaku berjongkok dihadapan Laila.

“Aku mau ini, Bang,” ucap Laila mencomot permen kapas dari genggamannya.

Aku menghela napas dan berdiri. Segera kukeluarkan uang sepuluh ribu dari dalam dompet untuk kuberikan padanya. Namun, ia menolak cepat.

“Enggak usah. Adikmu sudah membantuku memilih jepit rambut yang bagus. Lihat, cantik bukan?”

Aku diam saat ia menunjukkan jepit rambut berwarna pink yang senada dengan warna kaos yang dipakai malam itu.

“Kakak cantik, Abang tidak akan memujimu. Dia tidak pernah memuji perempuan selain aku dan ibu.” Laila menyahut semangat.

“Sungguh?”

“Sungguh. Anak kecil tidak pernah berbohong.”

“Mahal sekali ya untuk bisa dipuji olehmu?”

“Kamu cantik,” kataku kemudian.

“Abang?” Laila melotot padaku.

“Abang tidak boleh berbohong,” protes Laila.

Raut wajahnya yang terkejut terlihat jelas tapi aku paham jika ia pandai menutupinya. Cepat-cepat ia menguraikan tawa kecil.

“Terima kasih,” ucapku.

Kejora pun pergi. Malamku tak berhenti di situ. Ternyata, Laila masih ingin menikmati malam ini dengannya.

“Kamu senang hati menerima ajakan Laila berkeliling pasar malam bersama. Aku sampai kelelahan tapi melihat tawamu yang tak lelah bersua membuatku lupa merasakan lelehku,” gerutuku.

Malam itu secara resmi kita telah berkenalan. Hari-hariku berikutnya pun dipenuhi oleh sapanya. Kita jadi dekat. Bahkan bersepeda bersama hingga ia meminta duduk di boncengan sepedaku. Saat kita berpapasan di jalan, aku tak mungkin menolaknya. Kita bukan teman, bukan juga sahabat. Kita hanya sepasang anak manusia yang dekat karena hati ingin saling mendekat. Banyak hari terlewati dan aku merasa ada penegasan yang perlu kita buat. Di tempat yang sama, tempat pertama kita bertukar sapa, aku mengutarakan perasaanku yang sudah diketahui dengan pasti. Kebetulan ini malam terakhir pasar malam di lingkungan kita diadakan.

“Tidak bisakah tetap seperti itu?” Dia bertanya dengan sorot mata yang dalam.

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa menjawab ya tapi aku juga tidak mau memberikan tidak.”

“Kenapa?”

“Aku akan ke Perancis melanjutkan study ku. Kamu tahu itu.”

“Aku tidak akan melarangmu.”

“Aku tidak ingin mengikatmu dalam sebuah penantian.”

“Aku tidak apa.”

“Aku tidak mau.”

Meski dia bilang tak ingin memberi tidak, tetap saja perasaanku ditolak. Semua tak lagi sama. Dia telah melarikan diri di sisa waktu tiga bulan yang pernah kita miliki untuk menuntaskan masa SMA.

“Kamu memang tidak menjauh. Kamu hanya membawakan orang lain untukku,” pikirku bodoh.

Tiba-tiba aku teringat sosok bernama Mentari, sepupunya. Aku tahu jelas kalau dia ingin menjodohkanku dengannya agar aku bisa melupakannya. Hari ini, aku baru saja bertemu dan berkenalan dengan Mentari sesuai intruksinya. Namun, kupastikan bahwa semua tempat yang aku miliki dihidupku untuknya. Kini ia serahkan pada Mentari tanpa meminta permisiku. Ternyata, ada jarak tak kasat mata yang berusaha ia bentangkan.

“Baiklah, aku akan coba turuti permintaanmu. Akan carikan jalan agar Mentari bisa masuk ke hatiku,” gumamku.

Beberapa jam kemudian, aku mengantarnya ke bandara bersama Mentari. Setibanya ia memberi pelukan pada tiap orang dan hanya aku yang mendapat jabat tangan. Ketika punggungnya tak terlihat lagi, aku sadar jika ia benar-benar pergi.

“Kamu tahu jika aku tak seperti kamu. Mentari membeku dalam dinginnya malamku. Sekeras apa pun berusaha, hatiku tetap jadi milikmu dan aku hanya bisa memaksakan senyum untukmu bukan untuknya; Mentari.”

Keesokan harinya, aku dan Mentari tak sering merasa ada kecocokan. Aku menyerah. Aku memilih menunggunya dan mengakhiri hubunganku dengan Mentari daripada Mentari tak bahagia bersamaku.

“Jika Cinta bukan tokoh fiksi, aku tahu betul perasaannya. Kamu seperti Rangga, menghilang dalam ratusan purnama. Hanya saja, aku sedikit tahu kabarmu lewat Mentari yang kini jadi temanku. Katanya kamu melanjutkan S2 di sana,” tulisku pada buku diarry ku.

***

Ribuan hari terlewati dan akhirnya aku menemukan pagi paling indah di bangun tidurku. Itu saat aku menerima pesan singkat dari Mentari.

Masih menunggu Kejora?

Begitu isinya.

Aku sempat mempertanyakan maksud kalimat yang Mentari tanyakan. Jawabannya tentu, pasti dan selalu. Namun, kenapa Mentari tiba-tiba bertanya setelah berulang kali memintaku mencari gadis lain sebagai penggantinya? Kini aku sudah jadi seorang arsitek dan mendengar kepulangannya dan membuatku tahu rancangan paling tepat untuk membenahi hatiku yang rapuh. Aku bergegas ke bandara menyambutnya.

Hampir tiga jam aku menunggu kedatangannya. Penantianku akan segera berakhir. Mendung yang selama ini bersemayam di hatiku perlahan mulai ditiup sang angin untuk memunculkan pelangi. Wow, pelangi itu muncul saat aku kembali melihatnya. Begitu impianku dan harapanku saat ini.

Sesaat kemudian, rambutnya yang panjang mulai mampu kulihat secara nyata. Bahkan terikat rapi dengan riasan wajah yang memberitahuku kalau hatiku benar-benar yakin untuk tetap memilihnya. Sejenak kita saling berhadapan. Kejora, sudah tumbuh menjadi gadis yang dewasa bukan lagi remaja. Bola matanya sempat melebar saat mendapati sosokku yang tengah menghadangnya. Kita terbius dalam heningnya rindu selama beberapa detik.

“Tu me manques,” ujarku kemudian sebagai sapaan dengan senyum paling cerah yang kumiliki.

“Aku kangen kamu,” teriak dalam hatiku.

Seulas bibirnya mulai melengkung sempurna.

“Aku juga kangen kamu,” balasnya berlari memelukku.

“Aku kira kamu sudah lupa Bahasa Indonesia.”

Kejora terkekeh dan mendekapku semakin erat menuntaskan segala rindu yang selama ini berusaha dibunuh.

“Kalau hati sudah memilih, selama apa pun kamu menghilang hati ini akan selalu menantikan kepulanganmu. Kamu memang pemilik hatiku tapi kamu tak punya kuasa mengganti kehadiranmu dengan sosok yang lain. Kejora, I love you!” bisikku lembut.

TAMAT


BIODATA PENULIS

Putri Anggraeni, gadis 19 tahun yang lahir 2 Juli 2001 dan menetap di Kabupaten Lampung Tengah. Putri merupakan lulusan SMA tahun 2019 dan kini tidak melanjutkan kuliah ataupun bekerja. Selain itu, Putri juga bekerja sebagai seorang penulis lepas di IDN Times kategori artikel.


Media Sosial

➡instagram @ptriaggr

📩email putrianggraeni0207@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar