IKLAN

www.jaringanpenulis.com

Novelis Arlita Dela, "Senyum Tulus Si Kutu Buku" Cerpen Menginspirasi

Senyum Tulus Si Kutu Buku
Karya: Arlita Dela

sumber gambar dari google

Kenalkan aku Putri Utami, mahasiswi Sastra Indonesia di salah satu universitas ternama di Jakarta. Bercermin pada jurusanku, aku adalah si kutu buku. Setiap hari dan waktu, aktivitasku membaca dan menulis. Aku si wanita pemuja kata yang mengubah imajinasi menjadi puisi bermakna. Namun, kali ini aku akan bercerita tentang bagaimana caranya aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Semua bermula karena hari itu, hari dimana aku menjadi pahlawan di luar kemampuanku. Mari biar kuceritakan sedikit kisahku agar kelak bermanfaat untukmu!
Di minggu pagi yang cerah, saat hendak kubuka mata, kudengar getaran handphone di meja samping kasurku. Awalnya aku kira itu alarm yang semalam kupasang, namun ternyata ada panggilan masuk dari nomor tidak beralamat. Aku bangkit dengan cepat dan segera aku mencoba mengeksplorasi dan mengenali nomor itu, tidak lama kemudian keluarlah sebuah pesan di layar handphone ku sebagai pertanda bahwa orang itulah yang telah mengusik pagi hariku.
Kubuka pesan itu dengan cepat, tiada disangka ternyata pesan tersebut dari sahabat kecilku yang bernama Lia, dia meminta nomorku kemarin kepada ibu saat di taman. Aku segera menanyakan kabar dan tujuannya menghubungiku sepagi ini. Tidak perlu menunggu lama, kudapatkan balasan darinya. Ternyata Lia ingin bertemu denganku dan mengajakku ikut dalam kegiatan mingguannya menjadi sukarelawan di komunitas yang ia gawangi. Awalnya aku berat untuk menyetujui ajakan tersebut tapi setelah kupertimbangkan, aku harus mencoba keluar dari zona nyamanku.
Membalas pesan itu dengan cepat membuatku bergegas mandi agar dapat segera menemuinya. Setelah selesai mandi, aku bergegas turun ke meja makan. Disana terlihat ibuku sedang sibuk memanggang roti bakar. Tidak lama kemudian, Lia memanggil namaku dari luar rumah. Aku bergegas pamit pada ibu. Ternyata Lia membawa motor bebek warna merah miliknya. Kemudian segera melesat ke tempat tujuan.
Sesampainya di tempat tujuan, terlihat beberapa orang yang berlalu-lalang dengan pakaian didominasi warna putih dan merah. Aku merasa sangat asing harus berada diantara mereka, seperti ada ditempat yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya. Sejenak Lia menepuk pundakku hingga membuat aku terkejut.
“Diam aja, ayo masuk!” 
Kuikuti langkah kaki Lia menuju sebuah ruangan di lantai dua, disana sudah terlihat beberapa teman Lia yang siap mengikuti acara hari ini. Entah, acara apa yang akan berlangsung, aku hanya diundang oleh Lia untuk menemaninya. Disaat aku belum dapat mencerna keadaan, tiba-tiba Lia memperkenalku pada teman-temannya. Aku terlihat sangat gugup dan canggung sehingga aku ingat sekali sebuah celotehan dari salah satu teman cowok Lia yang bernama Gusti.
“Santai aja Put! Tak kenal maka tak sayang.” Kalimat itu terlontar dengan penuh candaan dari bibirnya. Kalimat itu mampu membuatku tersipu malu karena tatapannya sungguh dalam.
Setelah bercakap-cakap ringan dengan mereka, kini saatnya acara di mulai. Pembicara pertama memaparkan peranan anggota di komunitas yang ia gawangi bagi masyarakat. Aku sangat antusias menyimak pembicaraan tersebut. Sebab di sesi itu pula ditampilkan beberapa foto bukti senyum tulus dari masyarakat yang ditolong.
“Put, minat gabung sama kita gak?” Lia bertanya padaku sembari merapikan bangku sisa acara hari ini.
 “Minat sih! Tapi aku kan anak sastra. Masalahnya aku gak paham cara tensi orang apalagi nyuntik.”
Tiba-tiba Gusti datang sambil tertawa. Aku menoleh ke arahnya.
“Masih aja bingung. Aku itu anak hukum. Emangnya di hukum belajar cara nyuntik orang? Enggak kan? Tapi aku ada disini sekarang.”
Aku bingung harus membantah kalimat Gusti dengan alasan apalagi. Benar seperti yang dikatakannya, jika dia mampu, akupun pasti mampu.
“Ya sudah kamu coba pikirin dulu aja, nanti kalau emang benar minat dan mau gabung, bisa bilang ke aku.”
Aku hanya membalas ucapan Lia dengan senyuman. Kini hari sudah menunjukkan jam lima sore. Saat aku hendak pulang, ternyata Lia masih banyak urusan sehingga aku pamit untuk pulang duluan. Aku melesat turun ke bawah untuk mencapai jalan utama.
Aku berjalan menyusuri trotoar menuju halte bus, keadaan jalanan yang macet membuat para pengendara ojek online enggan untuk mengambil pesananku. Terpaksa kuputuskan diri untuk naik bus agar dapat pulang. Saat kuhendak berjalan, tak sengaja kulihat gadis kecil berseragam merah putih dengan membawa tas barwarna merah muda sedang berjalan sendirian.
Di saat yang bersamaan ada dua pelajar SMA yang menyalip mobil dengan mengambil bahu jalan. Gadis kecil itu tersenggol dan jatuh, saat kedua pelajar tersebut menyadari perilakunya, mereka segera pergi meninggalkan gadis kecil tersebut. Sontak aku berlari ke arahnya, kulihat dia sedang menangis kesakitan.
“Dik, kamu gak apa-apa kan?” Aku menolongnya untuk berdiri, aku menyusuri setiap tubuhnya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja, namun na’as kutemukan luka di lengan kanannya.
“Sakit, kak.” Gadis kecil itu mengeluh sembari mengeluarkan air mata tiada henti. Kupeluk dirinya untuk menenangkannya. Tidak kusadari, darah di lengannya sudah membasahi bajunya.
“Kak, aku kenapa ya?” tanyanya dengan panik.
Aku ambil air minumku di tas. Kubasuh area lukanya dan segera mengambil syal yang kupakai untuk menutup lukanya. Kuteringat tentang cara memberikan pertolongan pertama bagi korban kecelakaan di salah satu buku dengan judul ‘Tanggap Darurat’. 
“Kamu gak kenapa-kenapa kok. Sebentar ya.”
Aku balut lukanya secara perlahan namun dengan cepat dan tepat. Tiba-tiba aku teringat akan seminar acaranya Lia. Letaknya tidak jauh dari sini. Maka dengan cepat kuajak gadis kecil itu agar mendapat pertolongan berikutnya yang lebih baik dan bersih. Gadis kecil itu terus menitihkan air matanya. Sesampainya disana, beruntung aku kembali bertemu Gusti yang tengah bersiap-siap pulang.
“Gusti, tolong anak ini!” Aku menahan Gusti yang bersiap menyalakan mesin motor.
Gusti terkejut melihat aku dan anak kecil yang berlumuran darah di sebelahku. Gusti turun dari motornya dan membawa kami ke ruang tindakan. Gusti segera mencuci luka dan merawatnya, lalu di balut dengan perban. Aku salut melihat sikap Gusti yang sangat halus dan sabar menghadapi anak kecil dihadapannya. Kini gadis kecil itu kembali tersenyum.
“Nah, udah gak sakit kan? Kakak mau tanya, rumah kamu dimana?” Gusti menatap gadis kecil di hadapannya.
Setelah mendengar alamat yang disebutkan gadis kecil tersebut, Gusti menugaskan aku untuk ikut dengannya mengantarkan anak itu hingga rumahnya untuk menjelaskan kronologis kejadian pada keluarganya.
Sekitar 30 menit, tibalah kami di sebuah rumah kecil berwarna biru. Dimana orang tuanya sangat terkejut melihat kondisi anaknya. Namun, berkat kejujuranku menceritakan kronologisnya, merekapun percaya dan berterima kasih kepadaku dan Gusti. Disaat itulah hatiku bergetar, dimana untuk pertama kalinya aku menjadi pahlawan di luar batas kemampuanku.
Untuk pertama kalinya aku merasa bermanfaat bagi orang lain dan mendapatkan ucapan terima kasih yang begitu tulus. Tanpa kusadari mataku berkaca-kaca dan hampir saja aku teteskan air mata karena aku terharu.
“Baik, Bu. Berhubung sudah sore, kami izin pamit dulu.” Suara Gusti memecah lamunanku.
Aku dan Gusti segera pulang meninggalkan gadis kecil itu. SEKIAN.

Biodata Penulis
Arlita Dela mahasiswi Keperawatan yang telah terjun dalam dunia tulis menulis sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kegemarannya dalam menulis telah terbuktikan dengan satu novelnya yang berjudul, “Puzzle Pieces of Love” dapat diakses melalui google playbook. Tidak hanya menjadi penulis novel, Arlita juga senang menulis cerpen dan puisi. Bahkan ia mampu membuat desain grafis seperti logo, brosur, konten dan video motion graphic. Kini Arlita Dela ingin mengembangkan bakatnya untuk menjadi penulis skenario film.

Media Sosial
Instagram : Arlitadela
Facebook : Arlitadela
Wattpad : Arlitadela
Kwikku : Arlitadela
Whatsapp : 0858 9468 5377
Telegram : 0858 9468 5377

Posting Komentar

0 Komentar