IKLAN

www.jaringanpenulis.com

"Pesan yang Dinantikan" Sebuah karya Cerpenis Amelya Juwitasari

Pesan yang Dinantikan
Karya Amelya Juwitasari

sumber gambar : google

"Teman perempuan?" tanyaku kaget.
"Bukan temannya itu Bu! Pacarnya mas Tirta itu kayaknya," potong mas-mas tukang parkir yang sedari tadi duduk di pojok toko sambil mengunyah kacang kulitnya.
"Hus, ngawur kamu Jon! Temennya itu ah!” balas si Ibu sambil menghitung lembaran uang di meja kasir.
"Halah, temen apa sih, Bu? Saya lho, pernah lihat mereka berdua lagi di cafe bareng. Mbak Bunga itu juga kan sering ke sini toh?" lanjut mas-mas itu lagi sambil masih asyik mengunyah.
Aku diam. Rasanya ada yang mencelos di hatiku. Seolah-olah kebahagiaan dan keberanian yang kukumpulkan setengah jam lalu untuk datang ke toko ini sirna semua. Kupegang erat paper bag yang awalnya hendak kuberikan padanya.
“Apakah lebih baik kubawa lagi saja?” tanyaku dalam hati.
"Kalau boleh tahu, mbak-nya ini siapanya Tirta? Mbaknya temen kampus? Atau temen di organisasi? Ada pesen untuk anak saya?" tanya Ibu itu panjang lebar.
"Ah, enggak! Nggak ada, Bu," jawabku pendek, berusaha tampak biasa saja. "Saya beli susu ini saja ya Bu, berapa?" lanjutku mencoba mengalihkan pembicaraan sambil mengambil satu kotak susu di dekatku.
"Oh, itu lima ribu rupiah," jawab si Ibu itu.
Aku mengangguk. Kuambil selembar uang kertas lima ribu rupiah dan kuserahkan pada Ibu itu; ibu yang kutaksir seumuran dengan Ibuku. Menolak tawarannya untuk dibungkus dengan plastik, susu kotak itupun langsung kumasukkan ke dalam tasku. Aku pun kemudian pergi meninggalkan toko yang sudah beberapa bulan ini benar-benar ingin kudatangi.
Tak kuduga, usahaku untuk mengumpulkan keberanian langsung sia-sia hanya lewat beberapa patah kata saja. Kupegang erat-erat tali paper bag itu. Paper bag yang berisi sepucuk surat dan mug berbentuk lensa kamera; benda favoritnya. 
Rasanya ingin kubuang saja paper bag itu dan langsung boarding masuk ke gerbong Kereta Api Gajayana. Namun, mendadak langkahku terhenti hanya beberapa meter dari gerbang keberangkatan penumpang. 
"Mau boarding, mbak?" tanya seorang petugas stasiun.
"Hah? Apa? Oh, iya!” jawabku tergagap.
"Boleh saya lihat tiketnya?" tanya seorang petus stasiun lagi.
Aku mengangguk diam. Mendadak, aku teringat kata-kata sahabatku. Octa. Beberapa hari lalu...
“Lebih baik sebelum kamu berangkat ke Jakarta, bilang aja sama dia. Nggak bakal ketemu lagi kan? Udah lima tahun lho! Bilang sekarang atau nggak sama sekali. Mau nyesel lagi kayak si Tama dulu?” Ucapan Octa masih membuatku membekukan ingatan dan keinginanku.
"Mbak... Mbak, jadi boarding?" tanya petugas itu tiba-tiba.
Sejenak pertanyaan itu membawa kembali kesadaranku ke saat ini.
"Ah, sebentar Pak! Ada yang ketinggalan," jawabku pendek lalu berbalik dan berlari kembali ke toko itu.
Tidak butuh lima menit, aku sudah sampai di depan toko itu lagi. Kulihat si petugas parkir masih duduk di tempatnya tapi kali ini sambil menyeruput secangkir kopi. Aku masuk ke toko dan sang pemilik toko tampak kaget melihatku. Namun, sebelum dia bertanya, aku sudah memotong kalimatnya.
"Bu, bisa tolong kasihkan ini ke Tirta? Bilang aja dari Ata," ucapku cepat-cepat sambil menyodorkan paper bag tadi.
Ibu itu tampak bingung, dia lalu mengangguk dan meletakkan paper bag berwarna cokelat itu ke dalam etalase. Sebelum dia bertanya lagi, aku langsung kembali berlari ke arah pintu keberangkatan.
***
Kusodorkan tiketku dan setelah pemeriksaan standar, aku langsung masuk ke dalam peron. Berbeda dengan tadi, kali ini ada sebuah perasaan lega yang memenuhi dadaku. Aku berjalan pelan menuju gerbong kereta Gajayana. Aku masuk ke dalam gerbong pesananku dan kemudian mencari tempat dudukku. Kuletakkan dulu barang bawaanku ke dalam kabin dan akupun duduk nyaman di kursiku.
Sejenak kualihkan pandanganku ke luar jendela. Ah, beberapa menit lagi! Dalam waktu tidak lama, aku akan pergi meninggalkan Malang menuju Jakarta. Rasanya seperti kemarin aku menerima email yang memberitahu bahwa aku akhirnya diterima bekerja di salah satu situs entertainment di ibukota. Perusahaan yang memang sudah kuincar sejak lama, akhirnya aku berhasil masuk menjadi karyawannya. Setelah memilih tempat kos di daerah Mampang dan mengirimkan barang-barangku terlebih dulu lewat jasa pengiriman, seperti dengan hari ini akhirnya aku pergi.
Kudengar petugas stasiun memberikan pengumuman bahwa Gajayana sebentar lagi berangkat. Jantungku berdegup kencang. Tentunya bukan karena aku akan meninggalkan Malang dan mulai hidup baru di Jakarta tapi aku akhirnya berhasil menyampaikan apa yang ingin kuutarakan sejak dulu. Perasaan yang sudah kupendam selama bertahun-tahun padanya. Aku masih ingat waktu itu, lima tahun lalu. Aku dan sahabatku, Putri, sedang ikut komunitas sosial untuk mengajar ke anak-anak SD di daerah pinggiran. Setelah mengikuti briefing relawan sebelum hari mengajar, aku dan Putri pun pulang dari tempat pembekalan itu. Tempat di mana aku bertemu dengannya untuk kali pertama.
Mengerikan, bahkan sudah lima tahun saja aku masih ingat kenangan itu. Ya, saat itu aku dan Putri kebingungan karena mendadak helemku raib di sepeda motor. Tentu, aku tak mungkin membonceng Putri tanpa mengenakan helem. Tiba-tiba seorang selayaknya pria gentleman di sinetron itu datang. Ia menawarkan helem-nya untuk dipinjam dan meminta nomor HP-ku sebagai cara untuk mengambil lagi helem-nya.
Entah, mungkin, takdir memang tidak memihakku saat itu. Putri mendadak melihat helem-ku ada di salah satu sepeda motor saat kami mau pulang. Bodoh, pikirku. Seandainya waktu itu kubiarkan saja aku meminjam helem-nya, mungkin kisah kami tidak begini. Mungkin saja kami akan berteman, saling berkenalan, dan membangun perasaan yang sama. Namun, apa yang terjadi? Lagi-lagi aku cuma memandangnya dari jauh.
Berulangkali aku stalking dirinya di media sosial hingga menyukai seluruh postingannya, mencari tahu kegiatan apa yang dia lakukan, musik yang dia dengar, film yang dia tonton, konser yang dia datangi, dan nekat datang ke kampusnya. Ya, semua hal bodoh itu aku lakukan dalam lima tahun terakhir. 
Bahkan aku masih ingat, tahun lalu aku meminjam sebuah buku tentang fotografi di kampus tempatnya kuliah. Buku yang sebelumnya lalu sempat dia posting di akun media sosialnya.
Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat itu, apakah karena aku berharap bisa mengerti apa yang dia pikirkan dengan membaca buku yang sama? Sungguh! Aku mungkin bertambah tua tapi kebodohanku soal cinta tetap saja sama seperti saat aku masih SMA dulu.  Aku menghela napas panjang. Kereta Api Gajayana semakin melaju jauh meninggalkan Malang. Melewati rumah-rumah yang saling berhimpitan di daerah Kota Lama hingga membelah sawah di perjalanan.
Kunyalakan ponselku. Langsung kubuka aplikasi media sosial ku dan aku melihat Direct Message (DM) antara diriku dan dia. Tirta menyebutkan bahwa Ibunya membuka toko di stasiun Kota Baru dan dia sering bertugas menjaga toko itu. Aku seperti memperoleh harapan.
“Apakah aku bisa menemuinya lagi? Bisakah aku berbincang normal dengannya tanpa jantungku berdegup tak beraturan. Bisakah aku mengatakan padanya kalau aku menyukainya?” batinku.
Singkat cerita, aku bahkan  datang ke tempat dia nongkrong dengan temannya di malam Minggu tapi mendadak aku langsung kabur saat sudah di parkiran. Ah, mungkin dia akan mengiraku sebagai penguntit yang tidak sopan! Kubaca lagi DM-DM-an aku dan dia yang meskipun tidak sering tapi cukuplah membuatku berbunga-bunga.
Dibandingkan denganku, dia memang lebih sering membalas pesanku dengan singkat saat kutanya panjang lebar soal kesibukannya. Saat kutanya soal apakah dia sudah lulus S2 atau saat aku basa-basi mencari bahan pembicaraan soal film hingga pertandingan badminton.
Aku menghela napas dalam. Ah, mungkin dia memang tidak tertarik padaku! Tak bisa kusalahkan. Dengan penampilanku, perempuan bertinggi 158 cm dan bobot 60 kilogram, apakah aku cukup menarik? Jelas tidak di matanya. Pria hobi fotografi dan bertubuh tinggi sepertinya lebih cocok bersanding dengan perempuan bertubuh semampai yang tidak pengecut sepertiku. Mungkin, perempuan bernama Bunga tadi, sangat mendekati imajinasiku.
Entah, kenapa saat kupikirkan itu, dadaku terasa sesak dan mataku panas. 
“Semoga dia tidak membuang hadiah dan suratku. Bodoh, kenapa aku menuliskan semuanya di surat itu? Dia pasti menganggap diriku tak tahu malu,” gerutuku sambil memikirkan peristiwa tadi.
Kubetulkan posisi dudukku. Kulihat jam di HP. Aku baru akan tiba di Jakarta besok pagi saat Subuh. Baiklah, aku akan tidur dulu dan nanti bangun saat di Kediri atau Madiun. Namun, saat hendak memejamkan mata mendadak HP-ku berbunyi.
Kulihat ada sebuah DM baru di media sosial. DM yang langsung membuatku duduk tegak karena itu dari Tirta. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kubuka DM itu. Demi apapun, jantungku berdegup sangat kencang.
Lalu, aku diam membaca pesan pendek itu. Kulihat berulang kali layar ponselku, mencoba meyakinkan diri. Kemudian senyumku mengembang, hatiku seolah kembali menghangat membaca pesan darinya. Pesan yang sudah lama kutunggu-tunggu.
“0851 7786 9425, itu nomerku. Kabari aku kalau kau sudah di Jakarta,” tulis Tirta di DM itu dengan jelas.
“Ah, bahkan sebelum tiba di Jakarta, aku sudah langsung merindukan Malang!” gumamku sedikit sesal.
SEKIAN.


Tentang Penulis
Nama Cerpenis : Amelya Juwitasari
Asal Kota : Malang, Jawa Timur
Email : arai.mlyjwtsr@gmail.com
Instagram : @chimotarai

Posting Komentar

0 Komentar